klikwartaku.com
Beranda Internasional Tragedi dari Inggris: Apa yang Bisa Dipelajari “Love Island USA” dari Versi Aslinya?

Tragedi dari Inggris: Apa yang Bisa Dipelajari “Love Island USA” dari Versi Aslinya?

Tangkapan layar Youtube cuplikan Love Island USA versi spin-off dari reality show Inggris yang populer.

KLIKWARTAKU – Musim terbaru Love Island USA, versi spin-off dari reality show Inggris yang populer, mencatat jumlah penonton tertinggi sejak penayangannya pertama kali. Namun, lonjakan popularitas itu juga memunculkan sisi gelap. Pasalnya para kontestan dibanjiri perundungan daring yang ekstrem.

Kondisi ini memaksa pihak produksi menayangkan pernyataan khusus dalam salah satu episode, menyerukan kepada penonton untuk menghentikan pelecehan di media sosial. Sang pembawa acara, Ariana Madix, turut angkat suara, meminta publik mempertimbangkan dampak dari komentar dan unggahan mereka terhadap para peserta.

Popularitas Instan, Tekanan Instan

Format Love Island menempatkan sekelompok pria dan wanita dalam sebuah vila di Fiji untuk mencari cinta dan bersaing dalam berbagai tantangan. Popularitas acara ini kerap membawa ketenaran instan bagi para peserta. Jutaan pengikut di media sosial, kontrak endorsement, hingga undangan tampil di berbagai acara.

Namun, ketenaran ini punya konsekuensi. Sejak pertama kali ditayangkan di Inggris 10 tahun lalu, banyak mantan peserta mengungkapkan dampak psikologis berat yang mereka alami seperti depresi, kecemasan, dan tekanan publik yang luar biasa.

Pemerintah Inggris bahkan membuka penyelidikan resmi terhadap industri reality show pada 2019, setelah dua mantan kontestan Love Island dan satu tamu acara talk show tabloid ditemukan meninggal dunia secara tragis.

Pelajaran dari Inggris

Produser Love Island mengklaim telah belajar banyak dalam satu dekade terakhir untuk meningkatkan dukungan terhadap para peserta dan kru. Namun, para pakar psikologi menilai perlindungan terhadap kesehatan mental di AS masih tertinggal dibanding Inggris.

“Saya rasa kewajiban merawat para peserta belum berkembang sejauh di Inggris,” kata Jo Hemmings, psikolog perilaku yang pernah bekerja di sejumlah reality show seperti Big Brother. Ia menyebut bahwa polarisasi politik di AS juga dapat memperburuk intensitas perundungan daring.

Menurutnya, keseimbangan adalah hal yang sulit dicapai di reality show. Produser menginginkan drama dan konflik, sementara psikolog di lokasi harus menjaga stabilitas mental para peserta.

Versi AS dari Love Island, yang diproduksi oleh ITV America, kini mempekerjakan perwakilan kesejahteraan, dua psikolog lapangan, dan seorang manajer kesejahteraan untuk menjadi “suara netral” di vila. Setiap peserta memiliki akses langsung ke psikolog selama produksi berlangsung.

Sebelum tampil, setiap peserta juga menjalani proses evaluasi psikologis serta mendapat pembekalan tentang risiko media sosial dan tekanan publik.

Dibayangi Tragedi Masa Lalu

Namun, perhatian terhadap kesehatan mental ini baru muncul setelah tragedi menimpa versi Inggris. Sophie Gradon dan Mike Thalassitis, dua mantan kontestan, meninggal karena bunuh diri pada 2018 dan 2019. Beberapa mantan peserta juga mengungkapkan sempat berpikir mengakhiri hidup karena tekanan pasca-acara.

“Kalau bisa memutar waktu, aku berharap tidak pernah ikut acara ini,” ujar Zara Holland, kontestan musim 2016.

Media Sosial: Pedang Bermata Dua

Media sosial menjadi sumber perhatian utama. Dr. Jamie Huysman, penasihat produksi selama lebih dari 20 tahun, mengatakan platform digital telah menjadikan segalanya seperti neraka bagi beberapa peserta. Bahkan, penonton pun kini merasa terdorong untuk mendapat likes dengan membuat konten kritis atau menyindir peserta.

Hemmings mengatakan bahwa para psikolog bisa menyarankan peserta untuk mengabaikan kritik daring, tetapi itu tidak mudah. “Publik bisa sangat kejam dan tidak konsisten,” katanya. “Mereka harus ingat bahwa para kontestan ini masih muda, dan bisa saja anak, saudara, atau teman mereka sendiri.”

Popularitas mendadak dapat membuka peluang tapi juga membuka masa lalu. Banyak peserta menghadapi pengungkapan aib pribadi, mantan pasangan yang menjual kisah mereka ke media, dan segala tindakan mereka dibedah oleh publik.

Kenyataan lainnya, hanya sedikit bintang reality show yang mampu membangun karier panjang di industri hiburan. Kebanyakan justru hilang dari sorotan dan kesulitan kembali ke kehidupan normal setelah mencicipi ketenaran.

Love Island USA Musim 7: Antara Rekor dan Kritik

Musim ketujuh yang masih tayang saat ini menjadi musim terpopuler sejak diluncurkan pada 2019. Bar olahraga menggelar nonton bareng, selebritas membuat parodi di media sosial, bahkan rapper peraih Grammy, Megan Thee Stallion, muncul di salah satu episode karena kecanduannya pada acara ini.

Kesuksesan ini mendorong lahirnya spin-off bertajuk Beyond the Villa, yang akan mengikuti kehidupan para peserta musim 6 di Los Angeles setelah acara usai. Namun, peningkatan popularitas itu juga berbanding lurus dengan meningkatnya komentar negatif.

Para peserta musim ini terus-menerus diserang karena penampilan maupun perilaku mereka. Dalam salah satu episode, acara ini menayangkan pesan khusus: “Kata kunci dalam Love Island adalah… cinta. Kami mencintai penggemar kami. Kami mencintai para Islander. Kami tidak mencintai perundungan daring, pelecehan, atau kebencian.”

Ariana Madix, sang pembawa acara, memperkuat seruan itu: “Jangan menghubungi keluarga para peserta. Jangan menyebar informasi pribadi mereka. Jangan masuk ke laman para Islander dan menulis komentar jahat.”

Meski begitu, pihak produksi belum memastikan apakah langkah perlindungan tambahan akan diterapkan pasca musim ini. Mereka hanya menyebut bahwa evaluasi terus dilakukan.

Selama syuting, para peserta tidak memiliki akses ke ponsel atau media sosial, namun keluarga dan teman-teman mereka harus menanggung beban komentar kebencian. Termasuk dalam kasus Huda Mustafa, seorang ibu yang hubungannya dengan Jeremiah Brown menjadi sorotan warganet.

Industri Reality Show dan Seruan Perubahan

Kritik terhadap Love Island bukanlah kasus tunggal. Seruan perubahan terhadap industri reality show semakin nyaring setelah bintang Real Housewives, Bethenny Frankel, menyerukan agar para peserta reality show membentuk serikat kerja.

“Jaringan TV dan platform streaming telah mengeksploitasi orang terlalu lama,” kata Frankel. Seruan ini diikuti oleh gugatan hukum terhadap Love Is Blind, Real Housewives, dan Vanderpump Rules, acara yang turut melambungkan nama Ariana Madix.

Suzie Gibson, dosen senior di Charles Sturt University, menyamakan para peserta reality show dengan gladiator modern berjuang demi cinta, ketenaran, dan pengikut Instagram. “Penonton bisa hidup lewat mereka, berharap mereka jatuh, atau disingkirkan,” tutupnya.***

KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat

Homepage
Bagikan:

Iklan