Warga Afghanistan Cemas Dilarang Masuk AS oleh Trump “Kami Teman Amerika”
KLIKWARTAKU – Ahmad sudah bertahun-tahun bersembunyi di Afghanistan. Mantan pegawai militer Afghanistan ini hidup dalam ketakutan akan ditemukan oleh Taliban, yang merebut kekuasaan pada 2021 setelah pasukan Amerika Serikat mundur dari negara Asia Tengah tersebut.
Ahmad tak bisa bekerja, tak bisa mengakses layanan kesehatan, dan hanya bertahan hidup dari bantuan teman-temannya di luar negeri. Anak laki-lakinya yang berusia 12 tahun juga tidak bisa bersekolah. “Kalau kami ditemukan, Taliban akan menghabisi saya,” kata Ahmad yang nama aslinya disamarkan demi alasan keamanan.
Harapannya selama ini adalah bisa mendapatkan suaka ke Amerika Serikat. Prosesnya hampir selesai (tinggal menunggu pemeriksaan medis) sebelum dihentikan oleh pemerintahan mantan Presiden Donald Trump.
Pada Kamis pagi, harapan Ahmad hancur saat mendengar kabar bahwa Trump mengeluarkan perintah baru yang melarang pemegang paspor Afghanistan masuk ke AS, dengan alasan ancaman terhadap keamanan nasional. “Saya bukan ancaman bagi Amerika Serikat,” ujar Ahmad. “Kami adalah teman Amerika.”
Larangan perjalanan ini mulai berlaku pada Senin 9 Juni 2025, mencakup warga dari Afghanistan dan 11 negara lainnya, termasuk tujuh negara Afrika serta Haiti dan Yaman. Sebanyak tujuh negara lainnya dikenakan pembatasan sebagian.
Pemerintah AS menyebut Afghanistan termasuk dalam daftar karena Taliban dikategorikan sebagai kelompok teroris global, serta negara tersebut dianggap tidak memiliki otoritas pusat yang kompeten untuk mengeluarkan dokumen resmi seperti paspor. AS juga menyoroti tingkat pelanggaran visa yang tinggi oleh warga Afghanistan.
Ironisnya, pemerintahan Trump juga baru-baru ini mencabut status perlindungan sementara bagi lebih dari 9.000 warga Afghanistan yang saat ini tinggal di AS, dengan alasan kondisi keamanan dan ekonomi di Afghanistan diklaim telah membaik.
Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Pemerintah Taliban menerapkan serangkaian pembatasan keras berdasarkan interpretasi ketat hukum syariah. Larangan terhadap perempuan untuk berpendidikan di atas usia 12 tahun dan larangan bepergian tanpa pendamping laki-laki telah dianggap oleh PBB sebagai bentuk “apartheid gender”.
Laporan PBB tahun 2023 mencatat bahwa ratusan mantan pejabat pemerintah dan anggota militer diduga telah dibunuh sejak Taliban kembali berkuasa, meski ada janji amnesti umum dari kelompok itu.
Taliban mengklaim semua warga Afghanistan bisa “hidup tanpa rasa takut” dan mengajak warga di luar negeri untuk kembali dan membantu membangun negara. “Ada amnesti umum,” kata Mohammad Suhail Shaheen, perwakilan Taliban di Qatar pada awal tahun ini. “Keamanan sudah merata di seluruh Afghanistan.”
Namun bagi Ahmad, kenyataan itu tak berlaku. Meski ia didukung oleh seorang mantan tentara AS, ia tidak memenuhi syarat untuk visa imigran khusus (SIV) karena tidak bekerja langsung untuk militer AS. Ahmad bukan satu-satunya. Sekitar 200.000 warga Afghanistan telah dipindahkan ke AS sejak penarikan pasukan, namun masih ada puluhan ribu lainnya yang menunggu keputusan.
Sebagian besar dari mereka melarikan diri ke Pakistan, yang belakangan ini justru mengusir puluhan ribu pengungsi Afghanistan. Samira, salah satu pengungsi yang kini tinggal di Pakistan, mengaku tidak tahu harus ke mana jika jalur ke AS benar-benar tertutup. “Kembali ke Afghanistan bukan pilihan bagi kami. Itu akan sangat sulit,” katanya. “Anak-anak kami sudah kehilangan bertahun-tahun pendidikan, dan kami tidak punya harapan untuk kembali dengan aman.”
Menurut data Departemen Luar Negeri AS yang dibagikan oleh organisasi AfghanEvac, lebih dari 8.300 anggota keluarga warga negara AS masih menunggu wawancara di Afghanistan, dan lebih dari 11.400 lainnya sedang mengajukan reunifikasi keluarga.
Mojo, salah satu dari 200.000 warga Afghanistan yang kini telah menjadi warga negara AS karena pernah bekerja langsung dengan militer Amerika, merasa kehilangan harapan. Adik perempuannya masih berada di Afghanistan, hidup “seperti main petak umpet”. Karena mereka terus berpindah kota dan alamat setiap beberapa bulan demi keselamatan.
Mereka sudah melewati pemeriksaan latar belakang dan medis, tapi terjebak setelah proses dihentikan pada Januari. Kini, dengan larangan baru ini, Mojo dan keluarganya di AS merasa harapan mereka benar-benar hancur. “Saya berharap Trump berubah pikiran, membuat pengecualian, atau mencabut perintah ini agar orang-orang bisa hidup damai,” kata Mojo dari Houston, Texas.
Larangan ini juga berdampak pada warga Afghanistan yang bukan pengungsi, seperti Zarifa Ghafari, mantan pejabat dan kini mahasiswa di Universitas Cornell, AS. Ia saat ini berada di Jerman bersama anaknya untuk musim panas, dan harus bergegas kembali ke AS sebelum larangan berlaku.
“Larangan ini membuat saya berada dalam tekanan luar biasa,” ujarnya. Ia khawatir tak bisa lagi melakukan perjalanan rutin ke Jerman untuk menjaga status residensinya.
Shawn VanDiver dari organisasi AfghanEvac menulis di media sosial X: “Kebijakan ini mengkhianati janji yang pernah dibuat Amerika kepada warga Afghanistan. Mereka bukan ancaman, mereka sekutu kita. Dan sekarang mereka ditinggalkan.”
Sementara itu, banyak warga di Afghanistan menghadapi masalah yang lebih mendesak. Seperti dikatakan seorang pria kepada kantor berita di Kabul: “Kami bahkan tak punya roti. Kenapa kalian bertanya tentang bepergian ke Amerika?”***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage