Trump Gencar Serang Somalia: Janji Akhiri Perang Abadi, Tapi Serangan Udara Meningkat Dua Kali Lipat
KLIKWARTAKU – Janji kampanye Donald Trump untuk mengakhiri perang abadi Amerika terdengar nyaring di panggung politik. Namun di langit Somalia, suara dentuman justru semakin keras. Hanya dalam lima bulan masa jabatan keduanya, serangan udara AS ke Somalia melonjak lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut Komando Afrika Amerika Serikat (AFRICOM), hingga pertengahan 2025, AS telah melancarkan setidaknya 43 serangan udara di Somalia. Mayoritas diarahkan ke kelompok IS-Somalia di wilayah Puntland, sementara sisanya menargetkan kelompok al-Shabab yang telah lama menjadi momok di kawasan tersebut.
Kenaikan drastis ini mengundang pertanyaan besar: Mengapa seorang presiden yang berkampanye untuk menghentikan perang justru menambah panjang daftar serangan militer luar negeri?
Dari Retorika Damai ke Aksi Mematikan
Retorika Trump saat kampanye 2024 penuh semangat isolasionis: kurangi campur tangan luar negeri, fokus ke dalam negeri. Tapi pada 1 Februari (hanya 10 hari setelah pelantikannya) Trump mengumumkan lewat X bahwa AS telah menyerang pemimpin senior ISIS di Somalia.
“Para pembunuh ini bersembunyi di gua-gua, mengancam Amerika,” tulisnya. Itu menjadi serangan luar negeri pertamanya di masa jabatan kedua dan jelas bukan yang terakhir.
Tak lama kemudian, AS kembali terlibat di Timur Tengah: mendukung Israel di Gaza, menyerang Yaman, bahkan meluncurkan rudal ke fasilitas nuklir Iran. Namun di balik hiruk-pikuk kawasan itu, Tanduk Afrika menjadi medan perang yang tak kalah aktif dan sepi sorotan.
Somalia: Panggung Tanpa Lampu Sorot
Jethro Norman, peneliti senior dari Institut Studi Internasional Denmark, menyebut Somalia sebagai laboratorium senyap bagi ambisi militer Trump. “Kekuasaan besar, pengawasan rendah, dan risiko politik domestik yang kecil. Ini panggung ideal untuk unjuk gigi kekuatan tanpa banyak pertanyaan,” ujarnya.
Trump, kata Norman, telah melonggarkan batasan era Obama, memberi wewenang lebih besar pada militer untuk melakukan serangan drone tanpa akuntabilitas publik yang memadai. “Logika serangannya bukan hanya strategi militer, tetapi juga pertunjukan politik. Ini cara menunjukkan ketangguhan dan membedakan dirinya dari presiden sebelumnya.”
Namun, peningkatan serangan itu tidak diimbangi investasi dalam diplomasi atau rekonsiliasi. “Yang terjadi hanya ledakan demi ledakan, tanpa pondasi bagi perdamaian jangka panjang,” tambahnya.
Sejarah Kegagalan yang Berulang
Bagi banyak pengamat, intervensi AS di Somalia tidak pernah lepas dari bayang-bayang kegagalan. “Sejak tragedi Black Hawk Down tahun 1993, Somalia adalah luka lama dalam kebijakan luar negeri Amerika,” kata Abukar Arman, analis Somalia dan mantan utusan untuk AS.
Setelah 9 September, Somalia dijadikan bagian dari medan Perang Global Melawan Teror. Serangan udara menjadi alat utama. Tapi hasilnya? Masyarakat sipil menjadi korban, ekstremisme tidak hilang, dan AS kian kehilangan legitimasi.
“Tujuannya bukan hanya memburu teroris,” kata Arman. “Ada agenda geopolitik dan ekonomi. Somalia punya posisi strategis dan kekayaan alam yang menarik para predator ekonomi.”
Konflik Internal di Dalam Gedung Putih
Tak hanya di medan perang, pertempuran juga terjadi di dalam lingkaran Trump sendiri. Menurut sumber di Washington, ada friksi antara kubu yang mendorong keterlibatan agresif di Afrika dan Timur Tengah, dan mereka yang ingin fokus ke persaingan adidaya dengan Tiongkok.
“Tarik-menarik kebijakan ini menciptakan paradoks: Trump berbicara soal perdamaian, tapi militernya mengebom lebih banyak dari sebelumnya,” kata Norman.
Apa Selanjutnya untuk Somalia?
Meski AS mengklaim hanya menargetkan militan, laporan dari lembaga kemanusiaan menunjukkan bahwa korban sipil terus berjatuhan. Dan dengan 219 serangan yang sudah terjadi di masa jabatan pertama Trump, serta puluhan lainnya di awal masa jabatan kedua, banyak yang khawatir ini hanyalah awal dari eskalasi lebih besar.
Para ahli memperingatkan: tanpa strategi jangka panjang, Somalia akan terus menjadi korban kebijakan tambal sulam Washington (dijadikan sasaran, tapi bukan prioritas). “Amerika terus mengebom tanpa pernah membangun,” ujar Arman. “Dan Somalia terus membayar harganya.”***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage