Togo Bergejolak: Amarah Kaum Muda Bangkit Lawan Dinasti Politik
KLIKWARTAKU – Di jalan-jalan ibu kota Togo, protes yang awalnya bergemuruh kini telah dibungkam. Barikade dibersihkan, kerumunan dibubarkan, dan internet melambat. Namun di balik ketenangan semu itu, api kemarahan kaum muda masih membara.
Selama tiga hari berturut-turut, dari 26 hingga 28 Juni, ribuan warga (sebagian besar anak muda) turun ke jalan. Mereka menentang perubahan konstitusi yang dinilai memperkuat cengkeraman kekuasaan Presiden Faure Gnassingbé, pemimpin yang sudah berkuasa sejak 2005, menggantikan ayahnya yang berkuasa selama hampir empat dekade.
Kini, di bawah sistem parlementer baru, Gnassingbé menjadi ketua Dewan Menteri tanpa batas masa jabatan. Bagi banyak rakyat, inilah simbol bahwa dinasti politik di Togo belum mau turun panggung.
Protes yang Dibayar Mahal
Tanggapan pemerintah? Represi brutal. Setidaknya empat orang tewas, puluhan terluka, dan lebih dari 60 orang ditangkap. Rekaman video memperlihatkan pemukulan di jalan dan warga diseret paksa oleh pria tak berseragam.
“Ini bukan sekadar protes biasa,” kata Pap Koudjo, jurnalis dan penulis esai asal Togo. “Ini adalah penolakan menyeluruh terhadap 58 tahun pemerintahan dari ayah ke anak yang hanya menghasilkan kemiskinan dan penindasan.”
Bangkitnya Kaum Muda
Sebagian besar demonstran berusia di bawah 25 tahun. Mereka lahir dan tumbuh di bawah bayang-bayang satu keluarga yang sama. Mereka tak mengenal pemimpin lain. Mereka hidup dalam kelangkaan listrik, pengangguran, dan ruang kebebasan yang menyempit.
Kemarahan mereka juga menyasar kenaikan harga listrik sebesar 12,5 persen yang kemudian dibatalkan pemerintah. Tapi langkah itu dianggap hanya kosmetik.
“Rezim ini tidak lagi punya Solusi, hanya mengandalkan kekuatan militer,” tegas analis politik Paul Amegakpo.
Protes Tanpa Partai, Dipimpin Masyarakat Sipil
Uniknya, aksi ini tidak dipimpin partai oposisi, yang selama ini dilemahkan melalui kooptasi dan pengasingan. Pemimpin gerakan justru datang dari kalangan seniman, aktivis, diaspora, dan masyarakat sipil.
Penyanyi rap Aamron, yang sempat ditangkap, menjadi simbol gerakan. Organisasi sipil menyerukan penyelidikan independen atas kekerasan aparat, sementara Amnesty International mengecam pola pelanggaran HAM yang “telah membudaya”.
“Ini bukan soal protes ilegal. Ini soal pemerintah yang sistematis menolak hak dasar rakyatnya,” kata Fabien Offner dari Amnesty.
Dunia Diam, Gereja Bicara
Ironisnya, dunia internasional masih bungkam. Uni Afrika, ECOWAS, dan PBB sejauh ini belum memberi reaksi yang berarti. Amnesty menyebut Togo sebagai “titik buta diplomatik”.
Namun seruan muncul dari dalam negeri. Para uskup Katolik mengeluarkan pernyataan langka, memperingatkan bahaya “ledakan frustrasi” dan mendesak “dialog yang tulus dan inklusif”.
Satu Gelombang Besar di Afrika Barat?
Togo bukan kasus terisolasi. Afrika Barat tengah mengalami kebangkitan politik generasi muda. Dari Senegal hingga Burkina Faso, kaum muda menolak sistem yang mereka anggap usang dan tidak demokratis.
“Mereka tidak hanya turun ke jalan – mereka aktif di media sosial, di komunitas, dan dalam solidaritas global,” ujar Koudjo.
Pemerintah Tetap Keras Kepala
Pemerintah Togo tetap bertahan. Menteri Pelayanan Publik Gilbert Bawara menolak tudingan pelanggaran HAM dan menyebut demonstrasi itu upaya mengganggu ketertiban umum. Ia menegaskan bahwa perubahan konstitusi sudah sah dan konstitusional.
Namun bagi para pengkritik, sistem politik Togo hanyalah kulit demokrasi tanpa isi. Partai penguasa mengontrol lembaga-lembaga negara, menyingkirkan lawan politik lewat penangkapan, kooptasi, dan sensor.
Menuju Titik Didih?
Kini, protes memang telah mereda – untuk sementara. Tapi internet masih diperlambat, pasukan masih berjaga, dan ketegangan masih tinggi.
“Kita belum di ambang revolusi,” kata Amegakpo. “Tapi kita berada di titik krisis. Jika pemerintah tetap menutup mata, harga yang harus dibayar bisa sangat mahal.”
Suara Kaum Muda Tak Akan Diam
Bagi generasi muda Togo, ini bukan sekadar momen – ini adalah perhitungan. Mereka menolak menjadi penonton dalam sejarah negaranya sendiri.
“Ada jurang antara generasi yang sadar haknya dan rezim yang terus bertahan,” tegas Koudjo. “Perubahan mungkin belum datang hari ini. Tapi benihnya sudah tumbuh, dan suaranya tidak akan dibungkam.”***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage