klikwartaku.com
Beranda Internasional Tiga Anggota Parlemen Māori Diskors Lakukan Tarian Haka Saat Sidang

Tiga Anggota Parlemen Māori Diskors Lakukan Tarian Haka Saat Sidang

Ilustrasi suku maori yang miliki kebudayaan tarian haka di Selandia Baru

KLIKWARTAKU – Parlemen Selandia Baru telah memutuskan untuk menskors tiga anggota parlemen Māori karena melakukan haka protes dalam sidang parlemen tahun lalu. Anggota parlemen oposisi Hana-Rawhiti Maipi-Clarke, yang memulai tarian tradisional tersebut, diskors selama tujuh hari. Sementara dua pemimpin partainya, Rawiri Waititi dan Debbie Ngarewa-Packer dari Te Pāti Māori (Partai Māori), dijatuhi sanksi skorsing selama 21 hari.

Haka merupakan tarian seremonial suku Māori di Selandia Baru, yang seringkali dilakukan untuk menunjukkan kekuatan, kebanggaan, dan persatuan. Aksi haka itu dilakukan saat mereka ditanya apakah Te Pāti Māori mendukung RUU Prinsip-Prinsip Perjanjian (Treaty Principles Bill), yang bertujuan untuk menafsirkan ulang prinsip-prinsip perjanjian pendirian negara antara pemerintah Inggris dan suku-suku Māori pada tahun 1840.

Meskipun RUU tersebut akhirnya ditolak, usulan itu memicu kemarahan publik secara luas. Lebih dari 40.000 orang turun ke jalan melakukan aksi protes di luar gedung parlemen saat pembacaan pertama RUU itu pada November tahun lalu. “Kami dihukum karena menjadi orang Māori. Kami mengambil sikap sebagai orang Māori tanpa kompromi dan mengutamakan kebutuhan serta harapan rakyat kami,” kata Ngarewa-Packer.

Suasana sempat memanas saat parlemen membahas sanksi tersebut pada Kamis 6 Juni 2025. Terutama setelah Menteri Luar Negeri Winston Peters diminta meminta maaf atas ucapannya yang menyebut Te Pāti Māori sebagai kelompok ekstremis dan mengatakan negara ini sudah muak dengan mereka.

“Kami tidak akan pernah dibungkam, dan kami tidak akan pernah hilang,” ucap Maipi-Clarke, yang merupakan anggota parlemen termuda di usia 22 tahun, sambil menahan air mata. “Apakah suara kami terlalu lantang bagi parlemen ini, apakah itu alasan kami dihukum?” tanyanya merasa kesal.

Bulan lalu, sebuah komite parlemen mengusulkan skorsing terhadap ketiganya. Komite menilai bahwa haka tersebut, yang sempat menghentikan jalannya sidang, dapat dianggap mengintimidasi anggota parlemen lainnya.

Perdana Menteri Christopher Luxon menolak tudingan bahwa keputusan tersebut bersifat rasis, dan menegaskan bahwa masalah ini bukan soal haka, melainkan soal kepatuhan terhadap aturan parlemen. Namun, skorsing yang dijatuhkan pada Kamis itu menjadi yang terpanjang dalam sejarah parlemen Selandia Baru. Sebelumnya, skorsing terlama hanya berlangsung selama tiga hari.

Selandia Baru selama ini dikenal sebagai negara yang menghormati hak-hak masyarakat adat. Namun hubungan dengan komunitas Māori mulai memburuk di bawah pemerintahan konservatif pimpinan Luxon. Pemerintahnya dikritik karena memotong pendanaan program-program yang mendukung komunitas Māori. Termasuk rencana pembubaran lembaga kesehatan khusus yang bertujuan meningkatkan pelayanan bagi mereka.

Luxon membela rekam jejak pemerintahnya dalam isu-isu Māori, dengan menyebutkan program peningkatan literasi dan pemindahan anak-anak Māori dari tempat penampungan darurat sebagai bukti komitmennya.

Ketegangan ini bermula dari RUU Prinsip-Prinsip Perjanjian, yang mencoba memberikan definisi hukum terhadap prinsip-prinsip Perjanjian Waitangi, kesepakatan antara Mahkota Inggris dan para pemimpin Māori pada tahun 1840.

Partai kanan, ACT, yang mengusulkan RUU tersebut, berpendapat bahwa perjanjian itu perlu ditafsirkan ulang karena dinilai membagi bangsa berdasarkan ras dan tidak mencerminkan masyarakat multikultural saat ini. Namun, para penentang mengatakan bahwa RUU tersebut justru akan memecah belah dan mengancam perlindungan penting bagi masyarakat Māori.

RUU ini memicu aksi hikoi (pawai protes damai) selama sembilan hari yang dimulai dari utara dan berakhir di ibu kota Wellington. Jumlah peserta membludak hingga lebih dari 40.000 orang, menjadikannya salah satu pawai protes terbesar dalam sejarah negara tersebut.

Pada April lalu, parlemen resmi menolak RUU tersebut dengan 112 suara menolak dan hanya 11 yang mendukung, tak lama setelah sebuah komite pemerintah merekomendasikan agar RUU itu tidak dilanjutkan. Te Pāti Māori sendiri hanya memiliki enam kursi dari total 123 kursi di parlemen.***

KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat

Homepage
Bagikan:

Iklan