Sudah Kena Tarif Ekspor, Indonesia Juga Disuruh Belanja Ratusan Triliun Barang AS
KLIK WARTAKU – Pemerintah Indonesia resmi mencapai kesepakatan tarif resiprokal dengan Amerika Serikat, menjadikan Indonesia negara ketiga yang menyetujui perjanjian dagang bilateral di bawah kebijakan tarif baru Presiden Donald Trump.
Dalam kesepakatan tersebut, tarif impor untuk produk Indonesia ke Amerika ditetapkan sebesar 19 persen, sementara produk-produk asal AS masuk ke Indonesia akan dibebaskan dari tarif alias 0 persen.
Angka 19 persen ini menandai penurunan signifikan dari ancaman tarif sebelumnya yang sempat dilontarkan pemerintah AS sebesar 32 persen.
Kesepakatan ini juga mencakup komitmen Indonesia untuk melakukan pembelian besar-besaran terhadap produk-produk asal AS, termasuk US$15 miliar untuk sektor energi, US$4,5 miliar untuk produk pertanian, serta 50 unit pesawat Boeing.
Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah lebih dulu meneken kesepakatan serupa, posisi Indonesia terbilang berada di tengah.
Inggris, misalnya, memperoleh tarif ekspor ke AS sebesar 10 persen, bahkan mendapatkan pengecualian tarif untuk produk-produk unggulan seperti mobil dan pesawat penumpang.
Ini menunjukkan adanya relasi strategis yang lebih dalam antara AS dan Inggris, serta adanya pertimbangan geopolitik dan sejarah aliansi yang kuat.
Sementara itu, Vietnam menyepakati tarif sebesar 20 persen untuk ekspor ke AS. Namun, untuk barang-barang yang masuk ke AS melalui Vietnam tetapi berasal dari negara ketiga, seperti China, tarif yang dikenakan bisa mencapai 40 persen.
Vietnam juga menyetujui paket pembelian produk-produk AS sebagai bagian dari perjanjian, serupa dengan pendekatan yang diambil Indonesia.
China sendiri, yang hingga kini belum mencapai kesepakatan resmi, dikenai tarif tertinggi.
Kombinasi tarif yang diterapkan kepada produk asal China mencapai sekitar 34 persen, termasuk tambahan tarif khusus berdasarkan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA) dan tarif terkait fentanyl.
Posisi China yang dianggap sebagai kompetitor utama dalam perdagangan global menjadikan pendekatan AS jauh lebih keras terhadap negeri tirai bambu tersebut.
Dibandingkan ketiga negara tersebut, kesepakatan Indonesia dianggap sebagai hasil kompromi.
Di satu sisi, tarif 19 persen memang lebih tinggi daripada Inggris dan sedikit lebih rendah dari Vietnam, namun jauh di bawah tekanan maksimum yang sempat diisyaratkan AS.
Di sisi lain, Indonesia juga harus menanggung beban besar dalam bentuk pembelian produk AS, yang bagi sebagian kalangan dapat menjadi beban fiskal jika tidak diimbangi dengan strategi perdagangan yang hati-hati.
Kesepakatan ini menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan AS di bawah Presiden Trump bersifat sangat transaksional.
Tarif yang dikenakan terhadap setiap negara tidak ditentukan oleh parameter tunggal, melainkan kombinasi antara kekuatan tawar, kedekatan politik, serta kesiapan negara mitra untuk mengakomodasi kepentingan ekonomi AS.
Dalam konteks ini, Indonesia dinilai berhasil meredam tekanan tarif tinggi, meskipun harus membayar mahal dalam bentuk konsesi dagang.
Ke depan, pelaku usaha dan eksportir Indonesia perlu mencermati dampak dari tarif baru ini terhadap daya saing produk nasional di pasar AS.
Meski kesepakatan ini membuka stabilitas hubungan dagang bilateral, tarif 19 persen tetap menjadi tantangan bagi sektor-sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur yang selama ini mengandalkan akses pasar AS.
Pemerintah Indonesia diharapkan segera merilis dokumen resmi dan detail teknis kesepakatan agar pelaku industri dapat melakukan penyesuaian strategis secepat mungkin.
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage