klikwartaku.com
Beranda Ekonomi Standar Rumah Subsidi “Dikecilkan” Jadi Tipe 25 Picu Kontroversi

Standar Rumah Subsidi “Dikecilkan” Jadi Tipe 25 Picu Kontroversi

Ilustrasi rumah subsidi ukuran 5×5 meter. (Dibuat menggunakan Google Gemini)

KLIK WARTAKU – Pemerintah kembali berada di bawah sorotan setelah draf kebijakan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang mengusulkan penurunan standar rumah subsidi beredar di publik. Draf tersebut menyebutkan bahwa luas tanah minimal dapat dipangkas menjadi 25 m² dan bangunan menjadi sekecil 18 m² — ukuran yang memicu kritik keras dari pakar tata kota dan pelaku industri properti.

Langkah ini, meskipun belum final, mencerminkan tekanan fiskal dan upaya untuk memperluas jangkauan program subsidi. Namun, pendekatan “lebih kecil berarti lebih murah” ini mendapat respons tajam.

Ukuran yang kian sempit itu dituding tidak manusiawi oleh sejumlah pengamat. Pasalnya ukuran tersebut menghasilkan ruang tinggal yang hanya sekitar 4,5 m² per orang—jauh di bawah standar minimal kelayakan internasional sebesar 9 m².

Wakil Menteri PKP, Fahri Hamzah, membantah bahwa pemerintah telah memutuskan hal tersebut. Dalam wawancaranya di Metro TV, ia menyebut revisi ini hanyalah wacana dan menyatakan bahwa pemerintah justru sedang mempertimbangkan untuk menaikkan standar ke 40 m² demi selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Meski demikian, versi draf yang beredar menyebutkan ukuran tanah subsidi antara 25–200 m² dan bangunan antara 18–36 m². Ketentuan ini menimbulkan kebingungan di kalangan pengembang dan masyarakat.

Beberapa pelaku industri menilai kebijakan ini bisa membuka fleksibilitas pembangunan rumah subsidi di lahan-lahan terbatas di pusat kota. Budiarsa Sastrawinata, Managing Director Ciputra Group, menyebut pendekatan ini memberi “opsi baru” bagi pasar, bukan kewajiban tunggal.

Sementara itu, Kadin Properti menekankan pentingnya desain cerdas dan pendekatan vertikal jika ukuran unit harus dikompresi, terutama di wilayah urban padat.

Namun demikian, beberapa pengamat menyayangkan tidak adanya diskusi publik yang memadai sebelum rencana ini muncul ke permukaan.

Dengan backlog hunian nasional mencapai hampir 10 juta unit, pemerintah berada dalam tekanan untuk mencari solusi cepat dan murah. Tetapi para pengamat memperingatkan bahwa penyusutan ini bisa memperkuat persepsi bahwa program perumahan rakyat hanya mengejar kuantitas, bukan kualitas.

Kebijakan ini bisa memperburuk segregasi sosial, memperluas zona “perumahan minimal” di pinggiran kota, dan menciptakan risiko politik baru menjelang pemilu jika dianggap mengabaikan martabat kelompok berpendapatan rendah.

KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat

Homepage
Bagikan:

Iklan