Serangan di Boulder Picu Kekhawatiran Baru Soal Keamanan Komunitas Yahudi di AS
KLIKWARTAKU – Pada hari Minggu, sekelompok orang yang berkumpul di Boulder, Colorado, untuk meningkatkan kesadaran tentang sandera yang ditahan di Gaza menjadi korban serangan yang melukai 12 orang.
Tersangka pelaku, Mohammed Sabry Soliman, dituduh melemparkan bahan peledak ke arah kelompok tersebut. Menurut dokumen pengadilan, Soliman diduga telah merencanakan serangan ini selama satu tahun dan mengatakan kepada polisi bahwa ia ingin membunuh semua orang Zionis.
Insiden ini menjadi yang terbaru dalam rangkaian serangan terhadap individu dan institusi Yahudi, meningkatkan rasa cemas di kalangan komunitas Yahudi di Amerika Utara yang melihat kejadian-kejadian ini sebagai tanda meningkatnya antisemitisme di AS.
Serangan di Boulder terjadi hanya beberapa minggu setelah seorang tersangka menembak mati sepasang suami istri di luar Museum Yahudi Capitol di Washington, DC. Pasangan tersebut diketahui merupakan pegawai Kedutaan Besar Israel yang sedang menghadiri sebuah acara di museum tersebut.
Pada bulan April, kediaman resmi Gubernur Pennsylvania, Josh Shapiro, juga dibakar beberapa jam setelah ia merayakan malam pertama Paskah Yahudi. “Orang-orang Yahudi kini merasa lebih takut dibanding dua minggu yang lalu. Kekhawatiran yang sebelumnya sudah ada kini semakin meningkat,” kata Adina Vogel Ayalon dari J Street, sebuah kelompok advokasi pro-Israel yang mengkritik perang dan menyerukan gencatan senjata di Gaza.
“Jenis kejahatan kebencian seperti ini tidak membedakan posisi politik seseorang terhadap perang antara Israel dan Hamas,” tambah Ayalon. “Dan hal itu sangat mengkhawatirkan.”
Israel terus menghadapi kritik internasional atas operasi militernya di Gaza, yang dimulai setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang, kebanyakan warga sipil dan menyandera 251 orang.
Sejak perang dimulai, lebih dari 50.000 orang telah tewas di Gaza, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas. Statistik tersebut tidak membedakan antara warga sipil, pejuang Hamas, dan media internasional dibatasi oleh Israel untuk memasuki Gaza guna melakukan verifikasi.
Namun, laporan PBB yang menilai korban jiwa selama enam bulan pertama konflik menyebut hampir 70 persen korban tewas yang terverifikasi adalah perempuan dan anak-anak. Para pakar HAM juga telah memperingatkan tentang kelaparan, penyakit, dan pengungsian massal di Gaza selama konflik berlangsung.
Di AS, perang ini juga telah menjadi isu politik yang memecah belah. Demonstrasi pro-Palestina di kampus-kampus universitas dan kota-kota besar memicu perdebatan tentang pendidikan dan kebebasan berpendapat. Di dalam komunitas Yahudi Amerika sendiri, terdapat perbedaan pandangan antar generasi, agama, dan partai politik terkait dukungan terhadap Israel dan pembentukan negara Palestina.
Namun, serangan-serangan di Boulder dan Washington DC telah menyentuh batas yang lebih luas karena dianggap melampaui garis merah antara kebebasan berpendapat dan kekerasan politik, menurut Ayalon. Serangan di Boulder juga menuai kecaman dari luar komunitas Yahudi.
“Tindakan antisemitisme tidak memiliki tempat dalam masyarakat kita,” tegas Dewan Urusan Publik Muslim (Muslim Public Affairs Council) dalam pernyataannya. “Serangan kekerasan ini bukan hanya serangan terhadap komunitas tertentu, tapi juga ancaman langsung terhadap nilai-nilai pluralisme, martabat, dan keselamatan semua umat beragama. Sebagai Muslim, iman kami mengajarkan untuk menentang ketidakadilan dan menjunjung tinggi kesucian setiap nyawa manusia.”
Kelompok yang diserang di Boulder, Run For Their Lives, secara rutin mengadakan pertemuan dan pawai di seluruh negeri untuk menyerukan pembebasan para sandera yang masih ditahan di Gaza. “Tujuan kelompok ini adalah untuk secara damai meningkatkan kesadaran soal para sandera. Kami tidak berpolitik, kami tidak memprotes apa pun,” kata koordinator global Shira Weiss.
Banyak anggota kelompok ini adalah Yahudi dan mendukung Israel, namun partisipasi tidak terbatas pada pandangan atau latar belakang tertentu. “Kami menerima orang dari berbagai latar belakang yang memilih Partai Republik, Independen, Demokrat, yang mendukung atau tidak mendukung pemerintah Israel,” tambah Weiss.
Keselamatan selalu menjadi prioritas utama bagi kelompok ini, namun mereka tidak pernah menyangka akan terjadi serangan sekejam ini.
Komunitas dan institusi Yahudi di AS selama ini memang membutuhkan pengamanan ekstra, namun banyak yang memperkuat pertahanannya sejak penembakan di sinagoga di Pittsburgh, Pennsylvania, pada 2018 yang menewaskan 11 orang. Setahun kemudian, penembakan lain terjadi di sinagoga Poway, California, menewaskan satu orang dan melukai tiga lainnya.
Kini, percakapan soal keamanan kembali mencuat pasca insiden Boulder. “Serangkaian serangan dalam waktu singkat ini membuat setiap orang Yahudi Amerika mempertanyakan keamanan mereka, baik secara pribadi maupun di institusi-institusi Yahudi yang mereka kunjungi,” kata Haliey Soifer, CEO Dewan Demokrat Yahudi Amerika.
“Ada perasaan bahwa apa yang terjadi di DC dan Boulder bisa saja terjadi di mana saja, kepada siapa saja,” timpalnya lagi.
Organisasi Jewish Colorado telah mengumumkan penggalangan dana untuk meningkatkan keamanan komunitas Yahudi di Boulder, serta untuk memberikan bantuan finansial dan dukungan trauma kepada para korban. Target dana yang dikumpulkan sebesar $160.000.
Rabi Dan Moskovitz dari Temple Sholom di Vancouver, Kanada, yang sering berpartisipasi dalam acara Run For Their Lives, menyatakan akan terus mengadvokasi pembebasan sandera di Gaza. Namun, ia khawatir serangan di Boulder bukanlah yang terakhir.
“Ini hanya akan memperburuk radikalisasi,” katanya. “Ini hanya akan menginspirasi lebih banyak orang untuk melakukan hal serupa,” bimbangnya.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage