Sejarah Kue Basah Indonesia, Kenangan di Balik Jajanan Pasar Tradisional
KLIKWARTAKU – Ada kenangan yang tak lekang oleh waktu, terutama saat kita kembali mengingat aroma manis dan gurih jajanan pasar yang tersaji rapi di atas daun pisang. Di antara hiruk pikuk zaman modern, kue basah tradisional Indonesia tetap menjadi simbol kehangatan masa kecil, keakraban keluarga, dan jejak budaya yang kaya. Tapi, tahukah Sobat, bahwa kue-kue ini bukan sekadar camilan lezat, melainkan juga potongan sejarah dan warisan kuliner Nusantara?
Akar Sejarah Kue Basah
Kue basah merupakan jenis makanan ringan yang umumnya bertekstur lembut, legit, dan mudah rusak jika tidak segera dikonsumsi. Berbeda dari “kue kering” yang tahan lama, kue basah memiliki umur simpan pendek karena bahan-bahannya yang alami dan tanpa pengawet.
Menurut sejarawan kuliner, kue basah di Indonesia telah ada sejak era kerajaan-kerajaan Nusantara, dan berkembang pesat selama masa perdagangan rempah serta kedatangan budaya Tiongkok, India, dan Arab.
Banyak kue basah yang kita kenal hari ini, seperti kue lapis, onde-onde, kue ku, dan bakcang, adalah hasil akulturasi budaya Peranakan Tionghoa, sementara jajanan seperti klepon, lupis, cenil, dan nagasari merupakan asli kreasi masyarakat Jawa dan Melayu.
Filosofi dalam Setiap Gigitan
Sobat, di balik bentuknya yang mungil dan warna-warni menggoda, kue basah juga menyimpan nilai filosofi. Misalnya, klepon yang meletup di mulut melambangkan kebahagiaan yang tersembunyi, sementara kue lapis melambangkan harapan hidup yang berjenjang dan penuh kesabaran. Di banyak daerah, kue basah bahkan digunakan sebagai sajian ritual adat, tanda syukur, atau pelengkap acara sakral seperti selamatan, lamaran, dan hajatan.
Jajanan Pasar
Di pasar-pasar tradisional seantero Indonesia, kue basah masih bertahan sebagai ikon kuliner rakyat. Disajikan dalam tampah bambu, dibungkus daun pisang, atau plastik sederhana, keberadaan kue-kue ini seperti oase di tengah serbuan roti modern dan pastry ala Barat.
Generasi 90-an dan sebelumnya pasti masih ingat, bagaimana pagi hari diawali dengan ibu atau nenek yang pulang dari pasar membawa berkat berisi talam ubi, kue lapis, atau apem. Kehadiran kue basah menjadi pengikat kenangan, membawa kita pulang ke rumah masa lalu ke dapur yang hangat dan obrolan keluarga yang sederhana.
Modernisasi vs Pelestarian
Sayangnya, seiring berkembangnya zaman, eksistensi kue basah mulai terdesak oleh camilan instan dan makanan cepat saji. Banyak generasi muda yang tak lagi mengenal nama-nama seperti kue bugis, kue putu ayu, atau kue serabi. Bahkan, tak sedikit yang mengira jajanan pasar itu “ketinggalan zaman”.
Namun, di sisi lain, muncul gelombang revitalisasi kuliner tradisional yang mengangkat kembali citra kue basah lewat sentuhan modern. Beberapa UMKM, food blogger, hingga pelaku industri kreatif mengemas kue basah dengan cara yang lebih kekinian baik dari segi tampilan, rasa, maupun cara pemasarannya di media sosial dan marketplace digital.
Kue Basah sebagai Jembatan Budaya dan Identitas Bangsa
Lebih dari sekadar makanan, kue basah adalah identitas bangsa. Ia mencerminkan keragaman daerah, bahan lokal, teknik memasak tradisional, hingga nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan. Dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki ciri khas kue basahnya masing-masing dan semuanya layak untuk dirayakan serta dilestarikan.
Sobat, Yuk Nostalgia Lewat Sepotong Kue Basah
Di tengah kesibukan dan derasnya arus globalisasi, mungkin sekarang saatnya kita berhenti sejenak dan menikmati kembali sepotong kue basah. Bukan hanya soal rasa, tapi soal perjalanan. Setiap gigitan adalah napak tilas sejarah, cerita keluarga, dan jejak budaya yang melekat dalam jiwa bangsa.
Jadi, Sobat Klikwartaku, masih ingat rasa favoritmu? Klepon yang manis, serabi yang lembut, atau nagasari yang legit? Yuk, ajak anak-anak muda untuk mengenal kembali jajanan pasar karena melestarikan kue basah, berarti menjaga kenangan dan budaya Indonesia tetap hidup.
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage