klikwartaku.com
Beranda Internasional Putusan Bersejarah Mahkamah PBB: Negara Bisa Tuntut Negara Lain atas Kerusakan Iklim

Putusan Bersejarah Mahkamah PBB: Negara Bisa Tuntut Negara Lain atas Kerusakan Iklim

Mahkamah Internasional PBB mengeluarkan putusan penting yang membuka jalan bagi negara-negara untuk saling menggugat atas dampak perubahan iklim, termasuk emisi bersejarah. Foto: Tangkapan layar YouTube United Nations

KLIKWARTAKU — Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) mengeluarkan putusan bersejarah yang membuka jalan bagi negara-negara untuk menuntut negara lain atas dampak perubahan iklim, termasuk emisi karbon yang bersifat historis. Meskipun bersifat non-mengikat, keputusan ini diyakini para ahli hukum akan berdampak luas pada kebijakan iklim global.

Keputusan ini lahir dari dorongan sekelompok mahasiswa hukum muda dari negara-negara kepulauan Pasifik yang terancam tenggelam akibat naiknya permukaan laut. Inisiatif mereka pada tahun 2019 kini membuahkan hasil.

“ICJ akhirnya mengakui penderitaan dan perjuangan kami. Ini adalah kemenangan besar,” ujar Flora Vano, aktivis dari Vanuatu—negara yang paling rentan terhadap cuaca ekstrem.

Hakim Yuji Iwasawa menyatakan bahwa negara-negara yang gagal membuat rencana ambisius untuk menanggulangi perubahan iklim dapat dianggap melanggar kesepakatan internasional, termasuk Perjanjian Paris. Bahkan, negara yang tidak menandatangani Perjanjian Paris tetap berkewajiban melindungi lingkungan berdasarkan hukum internasional yang lebih luas.

Mahkamah juga menyebut bahwa negara-negara berkembang memiliki hak untuk menuntut ganti rugi atas kerusakan akibat perubahan iklim. Termasuk infrastruktur yang hancur hingga potensi relokasi negara.

Joie Chowdhury dari Centre for International Environmental Law (CIEL) menyebut putusan ini sebagai momen hukum yang menentukan dan memperkuat hak negara-negara terdampak untuk menuntut kompensasi.

“Dengan keputusan ini, Mahkamah mengirim pesan bahwa keadilan iklim adalah hak, bukan harapan,” tegas Chowdhury.

Meski belum dapat dipastikan besaran kompensasi yang mungkin diperoleh, data dari jurnal Nature mencatat bahwa kerugian akibat perubahan iklim antara tahun 2000-2019 mencapai USD 2,8 triliun atau setara Rp 45.000 triliun.

Pengadilan juga menekankan bahwa negara bisa dimintai pertanggungjawaban atas aktivitas perusahaan di wilayah mereka, termasuk pemberian subsidi atau izin kepada industri bahan bakar fosil.

Negara-negara maju seperti Inggris sebelumnya menolak klaim tersebut, beralasan bahwa kesepakatan iklim saat ini sudah cukup. Namun ICJ menolak argumen itu dan menyatakan tanggung jawab hukum tetap berlaku.

Meski demikian, pengadilan tidak memiliki kekuatan penegakan hukum. “ICJ tidak punya pasukan polisi. Pelaksanaannya bergantung pada kemauan politik negara-negara,” kata Harj Narulla, pengacara iklim yang mewakili Kepulauan Solomon.

Namun, dengan kekuatan moral dan hukum dari putusan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda ini, negara-negara berkembang kini memiliki alat baru dalam perjuangan panjang mereka melawan ketidakadilan iklim.***

KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat

Homepage
Bagikan:

Iklan