Politik dan Korupsi di Indonesia di Bawah Kepemimpinan Prabowo, Realita di Balik Janji?

Opini: M. Hasanuddin
KLIKWARTAKU – Saat Prabowo Subianto akhirnya terpilih sebagai Presiden Indonesia untuk periode 2024–2029, publik menyimpan harapan besar, bahwa tokoh yang dulunya dikenal tegas ini mampu membawa ketertiban, menegakkan hukum, dan memberantas korupsi yang telah menjadi penyakit menahun dalam tubuh birokrasi Indonesia. Namun, setelah beberapa bulan pertama pemerintahannya, muncul pertanyaan besar, apakah kita benar-benar berada di jalan yang berbeda, atau hanya mengulang pola lama dengan wajah baru?
Korupsi, Masalah Lama, Solusi Belum Tampak
Prabowo datang dengan janji ketegasan. Namun, sejauh ini, tidak terlihat ada langkah signifikan dalam menekan korupsi sistemik. Penangkapan-penangkapan yang terjadi masih bersifat sporadis, lebih banyak dipicu oleh kerja KPK atau OTT yang bersifat reaktif, bukan hasil dari reformasi struktural yang dijanjikan. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa kelembagaan KPK justru makin dilemahkan dengan intervensi politik dan pembatasan wewenang.
Lebih dari itu, penunjukan beberapa pejabat di kabinet atau posisi strategis yang memiliki rekam jejak kontroversial dalam kasus korupsi mengindikasikan bahwa politik balas budi dan pragmatisme masih menjadi pertimbangan utama dalam pemerintahan Prabowo.
Stabilitas Politik atau Konsolidasi Kekuasaan?
Prabowo berhasil merangkul hampir semua kekuatan politik besar dalam satu barisan. Ini sering disebut sebagai bentuk “rekonsiliasi nasional”, tapi dalam praktiknya, ini menciptakan dominasi politik tunggal yang minim oposisi.
Tanpa pengawasan yang kuat dari luar pemerintah, kebijakan-kebijakan berisiko tidak mendapatkan kritik yang sehat, dan potensi korupsi justru meningkat akibat lemahnya kontrol.
Tantangan Nyata, Menepati Janji Reformasi
Bila Prabowo sungguh ingin dikenang sebagai pemimpin reformis, ia perlu lebih dari sekadar retorika nasionalisme dan janji kedaulatan pangan atau pertahanan. Ia harus berani membersihkan institusi negara dari mentalitas korup, memperkuat lembaga pengawasan, dan menolak kompromi dengan elite politik yang tercemar.
Keberanian ini belum terlihat. Yang tampak justru politik akomodasi, menjaga stabilitas dengan mengorbankan integritas. Korupsi tetap bercokol, sementara rakyat menunggu tindakan nyata.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya kuat dalam narasi, tapi juga berani mengambil keputusan yang tak populer demi perbaikan jangka panjang.
Jika tidak ada gebrakan nyata dalam dua tahun ke depan, era Prabowo bisa saja tercatat sebagai kelanjutan stagnasi moral dalam politik Indonesia bukan awal dari perubahan besar yang dijanjikan.
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage