Perang Kata-kata Thailand vs Kamboja Tetap Memanas di Tengah Konflik Perbatasan
KLIKWARTAKU — Senjata di sepanjang perbatasan hutan Thailand–Kamboja memang telah terdiam selama tiga pekan terakhir. Namun, bukan berarti ketegangan mereda. Kini, perang kata-kata dan propaganda menjadi senjata baru kedua negara dalam memperebutkan opini publik, baik di dalam negeri maupun dunia internasional.
Konflik perbatasan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun kembali memanas sejak serangan roket Kamboja pada 24 Juli lalu, yang dibalas dengan serangan udara Thailand. Meski kontak senjata berhenti, perang informasi justru kian intens.
Kamboja memanfaatkan media sosial dan saluran berita berbahasa Inggris untuk menyebarkan klaim dramatis, termasuk tuduhan jatuhnya jet tempur Thailand hingga penggunaan gas beracun—yang belakangan terbukti hoaks. Sementara Thailand hanya merespons dengan pernyataan resmi yang kerap dinilai kaku, lambat, dan tidak terkoordinasi.
Kondisi ini semakin diperparah oleh dinamika politik domestik Thailand. Kebocoran percakapan pribadi antara Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen, memicu krisis politik di Bangkok hingga sang PM ditangguhkan oleh pengadilan konstitusi.
Di sisi lain, Hun Sen yang masih berpengaruh meski sudah menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Hun Manet, terus memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat posisi politik dan militernya.
Thailand kini berusaha membalikkan opini internasional dengan menuding Kamboja menanam ranjau darat baru di wilayah perbatasan. Tuduhan ini menjadi sensitif karena kedua negara telah menandatangani Konvensi Ottawa yang melarang penggunaan ranjau antipersonel.
Meski demikian, Kamboja membalas dengan menuding Thailand menggunakan munisi cluster dan peluru fosfor putih. Perseteruan tuding-menuding ini membuat peluang penyelesaian damai kian jauh.
Di balik konflik ini, sentimen nasionalisme kedua negara justru semakin meningkat. Di Kamboja, Hun Sen dan putranya diglorifikasi sebagai pelindung tanah air. Sementara di Thailand, perselisihan ini melemahkan pemerintah sipil dan memperkuat figur militer yang dikenal berhaluan nasionalis.
Dengan masing-masing pihak terus mengobarkan propaganda, solusi diplomatik tampak semakin sulit tercapai. “Ini bukan sekadar soal perbatasan, melainkan menyentuh jantung identitas nasional,” kata Sebastian Strangio, penulis Hun Sen’s Cambodia.
Akibat konflik ini, ratusan ribu pekerja migran Kamboja memilih pulang dari Thailand, memicu dampak ekonomi serius bagi Phnom Penh. Sementara itu, kedua negara terus saling menuduh tanpa ada tanda-tanda deeskalasi.***
Kunjungi Medsos Klikwartaku.com
Klik di sini