klikwartaku.com
Beranda Metropolitan Pengamat Komunikasi: Respon Lamban Pemerintah Bikin Ruang Publik Dipenuhi Rumor dan Hoaks

Pengamat Komunikasi: Respon Lamban Pemerintah Bikin Ruang Publik Dipenuhi Rumor dan Hoaks

Widha Anistya Suwarso

 

KLIK WARTAKU – Demonstrasi yang kerap mewarnai wajah demokrasi Indonesia bukan sekadar letupan emosi massa.

Bagi Widha Anistya Suwarso, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Tanjungpura, aksi turun ke jalan adalah bentuk komunikasi politik masyarakat kepada pemerintah.

Karena itu, respons pemerintah menjadi faktor kunci: apakah situasi di lapangan mereda atau justru memanas.

“Ketika masyarakat menyampaikan aspirasi lewat aksi massa, respons pemerintah harus cepat, tepat, dan terbuka. Jika lambat atau defensif, kondisi bisa semakin memanas,” ujarnya melalui pesan WhatsApp, Selasa (2/9) kepada Klikwartaku.com.

Widha menilai kesalahan komunikasi yang paling sering dilakukan pemerintah adalah terlambat merespons.

Dalam praktiknya, pernyataan resmi kerap muncul setelah situasi terlanjur berkembang liar. Padahal, prinsip komunikasi krisis jelas: be first, be right, be credible.

“Jika pemerintah terlambat bicara, ruang publik akan diisi rumor, hoaks, dan narasi liar yang tidak terkendali,” jelasnya.

Menurut Widha, strategi komunikasi yang sebaiknya diprioritaskan adalah empati dan partisipasi.

Pesan pemerintah harus menenangkan, memperlihatkan pemahaman atas kekecewaan masyarakat, sekaligus disertai rencana tindak lanjut konkret.

“Lebih banyak mendengar sebelum bicara. Kritik jangan dianggap ancaman, tapi bagian dari demokrasi,” tegasnya.

Media Massa Jadi Jembatan

Ia juga mengingatkan pentingnya pemanfaatan media massa dan media sosial.

Media arus utama berfungsi sebagai kanal legitimasi, sementara media sosial dapat menjadi ruang interaksi cepat.

“Jangan jadikan media sebagai alat propaganda. Gunakan untuk membuka dialog publik dan menjawab keresahan masyarakat,” katanya.

Saat diminta menilai komunikasi pemerintah selama ini, Widha mengakui ada kemajuan.

Namun, kelemahan mendasar tetap ada: respon lambat, bahasa yang kurang empatik, dan framing yang cenderung meremehkan aspirasi rakyat dengan narasi seperti “demo ditunggangi”.

“Akibatnya, publik merasa suara mereka tidak benar-benar diakomodasi dan justru ditutup,” pungkasnya. **

Penulis: Novy

Kunjungi Medsos Klikwartaku.com

Klik di sini
Bagikan:

Iklan