Pemuda Buleleng Ini Berhasil Bawa Produk Gamelan Rindik Bambu hingga Tembus Pasar Ekspor
KLIKWARTAKU – Ketekunan dan kerja keras I Gede Edi Budiana, pemuda asal Desa Alasangker, Kecamatan Buleleng, Bali, dalam melestarikan budaya tradisional layak dijadikan teladan. Lewat tangan terampil dan semangat inovatifnya, pemuda yang akrab disapa Edibud ini sukses memproduksi gamelan rindik dari bambu yang kini telah menembus pasar ekspor.
Alat musik tradisional khas Bali ini dibuat secara manual dengan ketelitian tinggi, dipadukan dengan teknologi modern. Hasilnya, setiap set rindik memiliki nilai seni, karakter unik, dan kualitas bunyi yang konsisten.
Edibud memanfaatkan media sosial seperti Instagram dan TikTok melalui akun “dE Percussion” untuk mempromosikan produk buatannya. Strategi digital ini membuahkan hasil: pesanan datang dari berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara.
“Dulu, tetua membuat rindik dengan rasa dan feeling untuk menyetel suara. Sekarang saya kombinasikan dengan teknologi—menggunakan aplikasi untuk menguji nada setiap bilah bambu. Itu sangat membantu, karena pendengaran kita kadang tidak setajam alat,” ujar Edibud, Minggu 13 Juli 2025.
Kecintaan Edibud terhadap gamelan muncul sejak kecil, saat ia sering mendengar alunan gamelan dari radio atau saat upacara adat. Saat merantau ke Gianyar untuk kuliah di bidang komputer, ia semakin terinspirasi karena berada di lingkungan yang kental dengan seni tradisional.
Awal mula usahanya cukup sederhana. Bermodal bambu bekas penjor, ia membuat rindik pertamanya. Tak disangka, teman kosnya tertarik dan membelinya seharga Rp300.000. Itu menjadi penjualan pertamanya di tahun 2016.
Setelah lulus kuliah pada 2018, Edibud kembali ke kampung halaman dan membuka studio “dE Percussion” di rumahnya, dekat Kampus Fakultas Olahraga dan Kesehatan (FOK) Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja. Ia pun mengembangkan berbagai produk berbahan bambu seperti tingklik, angklung bambu, suling, kulkul/tektekan, hingga kincir angin bernada.
Untuk bahan baku, Edibud menggunakan bambu Tabah dari perbukitan Bali Utara dan bambu Hitam dari Jawa. Bambu-bambu ini direndam selama dua bulan menggunakan cairan khusus dari insektisida alami dan EM4 untuk mengangkat zat gula, sehingga tahan lama dan anti-rayap.
“Asal tidak terus-menerus kena hujan atau dijemur, rindik bisa awet bertahun-tahun,” jelasnya.
Alat-alat sederhana seperti pisau belakas, pengutik, gerinda, dan mesin bor jadi perlengkapan utama. Untuk menyelaraskan nada, ia menggunakan aplikasi Tuner dari platform digital agar nada rindik sesuai dengan tangga nada selendro maupun diatonis.
Promosi melalui media sosial membuka jalan produk Edibud dikenal lebih luas. Rindik buatannya kini telah dikirim ke Australia, Jepang, New York, dan Singapura. Tak hanya itu, permintaan juga datang dari berbagai daerah di Bali, seperti Denpasar, Tabanan, Karangasem, Klungkung, Badung, serta desa-desa di Buleleng.
Harga rindik berkisar antara Rp1 juta hingga Rp8 juta, tergantung ukuran, ukiran, dan jenisnya. Selain itu, ia juga menerima pesanan khusus sesuai permintaan. Dalam proses produksi, Edibud memberdayakan pemuda di sekitarnya untuk membantu membuat pelawah (rangka kayu) dan ukirannya.
“Pesanan sekarang cukup banyak. Kami juga mulai menyetok produk agar bisa memenuhi permintaan. Tapi tetap, kualitas harus kami jaga,” ujarnya.
Edibud berharap lebih banyak anak muda Bali tertarik melestarikan seni gamelan, khususnya rindik, sebagai bagian dari warisan budaya yang tak ternilai.
“Banyak pemuda sebenarnya suka gamelan rindik, tapi karena faktor ekonomi, mereka lebih memilih merantau. Akibatnya, seni ini sementara ditinggalkan. Padahal peminatnya masih ada,” katanya.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage