NASA Targetkan Bangun Reaktor Nuklir di Bulan pada 2030, Picu Kekhawatiran Global
KLIKWARTAKU — Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mempercepat rencana pembangunan reaktor nuklir di permukaan Bulan sebelum tahun 2030, menurut laporan sejumlah media terkemuka AS. Langkah ini disebut sebagai bagian dari ambisi besar membangun basis permanen manusia di Bulan.
Menurut Politico, penjabat kepala NASA saat ini menyinggung rencana serupa dari China dan Rusia, serta menyampaikan kekhawatiran bahwa kedua negara itu berpotensi mendeklarasikan zona larangan akses (keep-out zone) di wilayah tertentu Bulan.
Namun, rencana ambisius ini dipertanyakan oleh para ilmuwan, terutama karena pemangkasan anggaran NASA sebesar 24 persen mulai 2026 serta indikasi bahwa proyek ini bermotif geopolitik.
Dorongan Politik di Balik Proyek Luar Angkasa
Dalam surat kepada NASA, Sean Duffy, yang ditunjuk Presiden Donald Trump sebagai kepala sementara badan antariksa tersebut, menyebut reaktor nuklir sebagai kebutuhan vital untuk ekonomi bulan masa depan dan keamanan nasional AS di luar angkasa.
Duffy meminta perusahaan swasta untuk mengajukan proposal pembangunan reaktor yang mampu menghasilkan minimal 100 kilowatt daya—jauh lebih kecil dibanding turbine angin darat yang menghasilkan 2-3 megawatt.
NASA sendiri telah mendanai desain awal reaktor sejak 2022, dan pada tahun ini, China dan Rusia mengumumkan rencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir otomatis di Bulan pada 2035.
Mengapa Nuklir Jadi Pilihan?
Menurut banyak ahli, penggunaan energi nuklir adalah satu-satunya opsi logis untuk pasokan daya yang stabil di Bulan. Hal ini dikarenakan satu hari di Bulan setara 28 hari di Bumi, dengan dua minggu siang dan dua minggu malam, membuat panel surya tidak cukup andal.
“Energi nuklir bukan hanya diinginkan, tapi tak terhindarkan,” kata Dr. Sungwoo Lim, dosen senior bidang eksplorasi antariksa di University of Surrey.
Ahli lain, Prof. Lionel Wilson dari Lancaster University, mengatakan proyek ini secara teknis memungkinkan asal didukung pendanaan dan peluncuran cukup dari program Artemis NASA.
Namun, Dr. Simeon Barber dari Open University memperingatkan soal risiko keselamatan saat meluncurkan material radioaktif ke luar angkasa, yang memerlukan lisensi khusus.
Kepentingan Geopolitik dan Kekhawatiran Kepemilikan Bulan
Sejumlah ilmuwan juga khawatir proyek ini didorong semangat persaingan geopolitik, bukan motivasi ilmiah. “Ini mengingatkan pada era awal perlombaan luar angkasa. Jika fokusnya hanya pada kepentingan nasional dan klaim wilayah, kita kehilangan misi besar eksplorasi tata surya,” ujar Dr. Barber.
Pernyataan Duffy tentang potensi “zona larangan akses” diyakini mengacu pada Artemis Accords—perjanjian yang ditandatangani tujuh negara pada 2020 untuk mengatur kerja sama di Bulan.
Jika reaktor atau pangkalan dibangun, negara bisa menyatakan zona aman di sekitarnya, yang secara implisit menjadi klaim teritorial.
“Bagi sebagian orang, itu terdengar seperti mengatakan, ‘ini bagian Bulan milik kami, dan kalian tidak bisa masuk,’” jelas Dr. Barber.
Terburu-Buru Tanpa Rencana Matang?
Sementara proyek reaktor dipercepat, program Artemis 3 yang bertujuan mengirim manusia ke Bulan pada 2027 masih dilanda penundaan dan kekurangan dana.
“Apa gunanya pembangkit nuklir kalau tidak ada cara membawa manusia dan perlengkapan ke sana?” kata Dr. Barber lagi.
Ia menyimpulkan bahwa proyek ini belum menunjukkan sinergi dan perencanaan menyeluruh, terutama jika ingin berfungsi sebagai basis permanen manusia di Bulan.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage