‘Mengkomersialkan Gegar Otak’: Olahraga Tabrakan dari Australia Coba Mendunia
KLIKWARTAKU – Defender siap? teriak pembawa acara. Jempol diangkat. Sesaat kemudian, dua pria bertubuh besar (tanpa pelindung apa pun) berlari sekuat tenaga dan saling bertabrakan, suara keras daging dan tulang beradu terdengar jelas. Penonton pun meledak! Ada yang bersorak, ada pula yang meringis ngeri.
Inilah momen yang mereka tunggu-tunggu. Dan inilah energi penuh adrenalin yang diandalkan oleh penyelenggara Run It Championship League untuk menjadikan apa yang mereka sebut sebagai olahraga tabrakan paling ganas di dunia sebagai tontonan global.
Olahraga ini adalah versi super intens dari permainan satu lawan satu yang berasal dari halaman belakang rumah dan lapangan sekolah di Australia dan Selandia Baru. Terutama di komunitas Kepulauan Pasifik.
Permainannya sederhana: satu orang membawa bola dan harus lari lurus ke arah bek yang juga berlari ke arahnya. Tidak boleh menghindar, melompat, atau mengecoh. Harus tabrakan langsung.
Video permainan ini baru-baru ini viral, dan para pendiri liga Run It memanfaatkan gelombang ketertarikan ini. Mereka mengklaim telah meraih jutaan penonton daring, ribuan penggemar, sponsor besar, dan bahkan memunculkan liga tandingan.
Pertandingan telah digelar di Melbourne dan Auckland. Sabtu ini, duel akan digelar di arena Dubai, dengan hadiah utama senilai A$200.000 (sekitar Rp2 miliar). Target selanjutnya: ekspansi ke Inggris dan Amerika Serikat.
Namun, seiring dukungan yang terus tumbuh, muncul pula suara-suara kritis. Pakar medis dan tokoh olahraga khawatir akan dampak fisik dan mental permainan ini yang kini juga telah menjadi tren media sosial, dan bahkan dituding menyebabkan kematian seseorang.
“Ini seperti mengguncang bayi,” kata Peter Satterthwaite, yang keponakannya meninggal setelah meniru permainan ini di pesta.
Dari Sekolah ke Panggung Dunia
Tujuan dari permainan ini jelas: jadilah orang yang mendominasi tabrakan, menurut penilaian tiga juri. Dua dari tujuh pendiri liga, Brandon Taua’a dan Stephen Hancock, mengenang masa remaja mereka di Melbourne, sering memainkan permainan ini.
“Saya sering run it straight ke Brandon,” ujar Hancock sambil tertawa, mengakui bahwa dulu mereka biasa berusaha menghindari benturan langsung. Namun akhir pekan ini, delapan finalis akan saling hantam demi hadiah besar di Dubai.
Hancock menekankan bahwa Run It adalah permainan keterampilan (semua soal footwork) meski kekerasannya sulit disangkal. Media sosial liga dipenuhi klip-klip singkat yang menampilkan tabrakan brutal. Dalam video lainnya, beberapa peserta tampak pingsan dan langsung mendapat penanganan medis.
Taua’a mengakui ada risiko, tapi mengklaim liga memiliki protokol keselamatan. Peserta harus melalui tes medis (termasuk tes darah dan pemeriksaan fisik) serta mengirim video terkini saat bermain olahraga kontak. Tim medis selalu siaga di sisi arena. “Selancar, tinju, semua punya risiko,” ujarnya.
Berkah Besar bagi Peserta
Champ Betham, pemenang kompetisi di Auckland dengan hadiah NZ$20.000, menyebut risiko bukan masalah utama. “Ini berkah besar. Bisa dapat 20 ribu dolar untuk kerja beberapa jam,” ujarnya.
“Bisa bayar utang, isi kulkas, beli makanan untuk anak-anak, apalagi ekonomi sekarang begini. Semua mahal.”
Meski baru berjalan enam bulan, liga ini sudah terlihat sangat profesional. Biaya perjalanan dan akomodasi peserta ditanggung. Arena berkapasitas 1.600 kursi telah disiapkan. Akun media sosialnya rapi, ada tim PR, dan dukungan dari sejumlah bintang olahraga Oseania.
Investor awal hanya disebut sebagai kelompok lokal yang percaya pada produk ini. Namun sponsor besar mulai bermunculan: menjelang laga Dubai, mereka mengumumkan kesepakatan dengan platform judi daring Stake.com, meski layanan ini dilarang di Australia dan Inggris.
Mereka juga tengah berdiskusi dengan investor AS, termasuk kontak dari podcaster dan petarung UFC, Joe Rogan, yang menurut Taua’a akan sangat membantu ekspansi di AS. “Ini bisa jadi olahraga setara MMA dan tinju,” kata Hancock penuh ambisi.
Benturan Biasa yang Berujung Maut
Namun, di tengah ambisi itu, kritik semakin keras. “Mereka sebaiknya sekalian jadikan merokok sebagai olahraga resmi,” sindir Dr Alan Pearce, ahli saraf.
Peter Satterthwaite berbicara dari Palmerston North, Selandia Baru. Keponakannya, Ryan (19), mencoba permainan ini di taman saat menghadiri ulang tahun. “Dia sempat bilang tidak enak badan setelah dua tabrakan,” ujar Peter. “Beberapa saat kemudian dia rebah, matanya terbalik.”
Ryan dilarikan ke rumah sakit. Dokter harus membuang sebagian tengkoraknya untuk meredakan tekanan akibat pembengkakan otak. “Senin malam, alat bantu hidupnya dimatikan. Sehari sebelumnya dia masih bercanda dengan teman-temannya.”
“Itu cuma tabrakan biasa,” katanya. “Tapi menunjukkan betapa rapuhnya otak manusia.”
Liga Run It mengatakan permainan ini tidak untuk dimainkan di jalan atau halaman rumah. Namun Satterthwaite meragukan dampaknya: “Tak ada olahraga di dunia ini yang tidak dimainkan ulang di taman, pantai, atau halaman.”
“Topeng Maskulinitas” dan Risiko Sosial
Shenei Panaia, pekerja kesehatan mental keturunan Samoa di Australia, khawatir permainan ini menanamkan nilai maskulinitas beracun. “Pesan yang disampaikan: harga dirimu diukur dari seberapa banyak rasa sakit yang bisa kamu tahan. Kalau kamu tidak tangguh, kamu tidak pantas.”
Ia menilai komersialisasi permainan ini bertentangan dengan nilai komunitas Pasifik: saling menjaga dan membuat keputusan yang baik untuk semua.
Darah di Udara dan Ancaman Gegar Otak
Pakar gegar otak dan tokoh olahraga turut menyuarakan kekhawatiran. Selama satu dekade, olahraga benturan tinggi berusaha meningkatkan keselamatan karena risiko cedera otak. Otoritas seperti Rugby Australia dan New Zealand Rugby telah memperingatkan agar orang tidak ikut bermain. Bahkan PM Selandia Baru menyebutnya sebagai “hal bodoh”.
Dr Pearce menegaskan berlari saling tabrak 25 km/jam tanpa henti jelas tidak aman. Gegar otak, pembengkakan otak, hingga CTE (penyakit otak degeneratif akibat trauma berulang) bisa terjadi. “Mereka menggunakan benturan sebagai hiburan, itu artinya mengkomersialkan gegar otak,” kesalnya.
Namun, juru bicara liga membantah tudingan ini. Mereka menyebut Run It bukan soal maskulinitas, melainkan soal kekuatan dan keterampilan. Taua’a menambahkan bahwa apa yang mereka tampilkan tak jauh beda dari pertandingan rugby di TV dan bahkan lebih aman karena ada protokol medis.
“Permainan ini baru bagi banyak orang. Mungkin butuh waktu untuk mereka memahami apa yang kami bangun,” pungkasnya.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage