Mengapa Hujan Muson Setiap Tahun Sebabkan Kekacauan di Kota-Kota India?

KLIKWARTAKU – Di Delhi, Jembatan Minto sudah menjadi simbol kekacauan muson tahunan. Hampir setiap tahun, kendaraan besar seperti bus atau truk terjebak di bawah jembatan setelah hujan deras, memperlihatkan lemahnya penanganan banjir kota.
Mei tahun ini, Delhi mencatat curah hujan tertinggi sejak 1901 lebih dari 185 mm. Akibatnya, banyak rumah warga rusak. Media lokal melaporkan setidaknya empat orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat dua badai hebat.
Sementara itu, di Bengaluru lebih dari 2.000 km dari ibu kota, masalahnya berbeda tapi akarnya sama. Dulu dikenal sebagai kota danau karena jaringannya yang luas untuk menampung air hujan, kini banyak danau di Bengaluru telah digusur dan digantikan oleh apartemen, pusat bisnis, dan jalan raya.
“Bengaluru memiliki tiga lembah utama tempat air mengalir secara alami. Danau-danau utama kota berada di lembah-lembah ini,” ujar Ram Prasad, aktivis pelestarian danau.
Namun, kawasan yang semula merupakan zona larangan bangun kini telah dialihfungsikan, bahkan dilegalkan untuk proyek infrastruktur. “Ketika danau yang dulunya berfungsi sebagai penahan banjir diubah menjadi bangunan, air tak lagi punya tempat untuk mengalir. Jadi banjir di Bengaluru hari ini sepenuhnya akibat kesalahan perencanaan kota,” jelasnya.
Kota yang berada di dataran tinggi, lanjut Prasad, seperti Bengaluru seharusnya tidak rawan banjir. Namun, pelanggaran aturan bangunan, seperti pembangunan di atas saluran air hujan atau mempersempitnya, justru memperparah situasi.
Mumbai menghadapi tantangan geografis karena banyak wilayahnya berada di dataran rendah dan dekat laut, membuatnya lebih rentan terhadap banjir ketika hujan deras bertepatan dengan pasang laut.
Namun para ahli menegaskan bahwa faktor manusialah yang membuat situasi semakin buruk akibat pembabatan hutan bakau, penahan alami banjir dan pembangunan di atas dataran banjir tempat air seharusnya mengalir.
“Kerusakan ini bersifat sistemik dimulai dari perencanaan yang tidak mempertimbangkan variabilitas iklim masa depan, diperparah oleh pelaksanaan yang buruk dan lemahnya penegakan regulasi,” kata Kukreja seraya menambahkan kemauan politik sering kali hanya reaktif baru bertindak setelah bencana terjadi, bukan berinvestasi pada ketahanan jangka panjang.
Masalah ini tidak hanya terjadi di kota besar. Kota-kota kecil pun mengalami dampak serupa, bahkan lebih parah. Akhir pekan lalu, sedikitnya 30 orang tewas di negara bagian timur laut India akibat banjir dan tanah longsor setelah hujan deras. Puluhan ribu orang terdampak dan upaya penyelamatan masih berlangsung.
Lantas, apakah ada solusi? “Tentu ada,” kata Kukreja, “tapi hanya jika menjadi bagian dari strategi jangka panjang yang terkoordinasi.”
Dia menyarankan pemanfaatan teknologi seperti pemetaan dan sensor waktu nyata untuk mengidentifikasi zona rawan banjir dan memperingatkan masyarakat. Model prediktif juga dapat membantu pemerintah merespons lebih cepat. Namun, katanya, teknologi saja tidak cukup. Diperlukan juga pemerintahan yang responsif dan partisipasi aktif masyarakat.
“Untuk membuat kota-kota di India tahan terhadap hujan muson, diperlukan lebih dari sekadar pompa penyedot air dan solusi cepat. Yang dibutuhkan adalah perencanaan visioner sebelum kerusakan terjadi,” pungkasnya.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage