Mencatat cinta tak sekadar romantis, tapi juga legal
KLIKWARTAKU – Sepuluh pasangan umat Buddha di Kota Pontianak akhirnya bisa bernapas lega. Selasa 15 Juli 2025, mereka resmi mencatatkan pernikahannya secara sah di mata negara. Lokasinya pun tak sembarangan berlangsung di Balai Nikah Mal Pelayanan Publik (MPP) Kapuas Indah, yang kini menjadi pusat layanan publik yang makin inklusif dan adaptif.
Program pencatatan ini bukan sekadar rutinitas birokrasi. Ini adalah bukti konkret bahwa negara hadir untuk semua, termasuk minoritas yang selama ini kerap terabaikan dalam sistem administratif.
Bekerja sama dengan Kantor Kementerian Agama Kota Pontianak, Pemerintah Kota Pontianak mulai serius mengurai benang kusut legalitas pernikahan umat non-Muslim yang selama ini belum terfasilitasi optimal.
“Kalau tidak tercatat, ya secara hukum pernikahan itu belum sah,” tegas Dwi Suryanti, Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil Disdukcapil Kota Pontianak. Kalimat itu sederhana, tapi dampaknya tidak main-main. Dari hak waris, status anak, hingga akses layanan public semuanya bermula dari akta nikah.

Ironisnya, banyak pasangan yang belum menyadari bahwa nikah adat, meskipun sakral dan bermakna, tidak serta-merta sah secara hukum negara. Bahkan, menurut Dwi, masih banyak yang mengira cukup menikah secara kepercayaan atau adat saja.
Dan masalahnya tak berhenti di situ. Tantangan lain yang cukup pelik adalah perbedaan nama di dokumen pribadi, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Nama Indonesia, nama Tionghoa, alias semuanya bisa berbeda di berbagai dokumen.
Ini bukan soal kelalaian, tapi warisan sistem administrasi yang dulu tidak akomodatif terhadap keragaman identitas.
Lebih dari sekadar seremoni, pencatatan ini butuh proses yang matang. Bahkan, setiap rencana pencatatan wajib diumumkan terlebih dahulu selama 10 hari kerja. Tujuannya? Untuk memberi ruang jika ada pihak yang keberatan, misalnya karena status pernikahan sebelumnya. Transparansi ini penting agar negara tidak asal stempel.
Inisiatif ini bukan program manis untuk sekadar seremonial media. Ini harus menjadi langkah awal perubahan sistemik. Negara wajib menjamin keabsahan pernikahan semua warganya, tanpa kecuali.
Harapannya jelas semakin banyak pasangan, dari berbagai latar belakang agama dan budaya, yang memahami pentingnya mencatatkan pernikahan secara sah. Karena cinta bukan hanya soal rasa, tapi juga soal hak. Dan hak itu harus dilindungi oleh hukum, tanpa diskriminasi.
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage