Medsos RI Heboh Konten Nyeleneh, Dosen UMM Ungkap Akar Masalahnya
KLIKWARTAKU – Jagat media sosial Indonesia emang enggak ada habisnya bikin heboh, ya kan? Kali ini, bukan soal politik atau drama seleb, tapi urusan konten “kebebasan berekspresi” yang bikin sebagian besar masyarakat auto-geleng-geleng kepala. Gimana enggak, ini kayak benturan dua dunia: budaya Barat yang serba bebas, adu jotos sama nilai-nilai Timur kita yang kental agama dan moral. Duh!
Fenomena ini rupanya udah bikin banyak pihak ikutan pusing. Salah satunya Dosen Sosiologi UMM, Luluk Dwi Kumala Sari, yang ngelihat mayoritas netizen udah pada ngamuk-ngamuk, sementara para “pelaku” asyik berlindung di balik tameng Hak Asasi Manusia (HAM).
“Belakangan ini, TikTok sama Instagram lagi rame banget sama konten yang dianggap ‘melanggar norma’ sama masyarakat kita. Dari gaya hidup liberal sampai ekspresi gender yang ‘beda’, semuanya ada,” kata Luluk, yang kami kutip dari lifestylebisnis.com hari Jumat (20/6) ini.
Tergiur Kebebasan, Eh Konteks Budaya Diabaikan?
Luluk ngejelasin, konten-konten biang kerok ini kebanyakan lahir dari anak muda yang kelewat silau sama budaya populer Barat. Katanya sih, budaya ini emang jago banget ngedepanin kebebasan individu secara mutlak.
“Mereka ngerasa tindakan mereka itu udah paling bener dan ogah disalahin, sambil bawa-bawa HAM,” ujar Luluk lagi. “Padahal, mereka lupa nih sama konteks budaya di Indonesia. Kita kan di sini pake budaya Timur, yang ngedepanin tradisi, moral, agama. Eh, malah pede banget nge-upload di medsos biar orang lain lihat kebebasan berekspresi mereka.” Makjleb!
Enggak cuma itu, lingkungan juga jadi biang keladi! Luluk bilang, kalau lingkungannya kurang mendukung, kayak keluarga yang broken home atau circle pertemanan yang toxic, bisa jadi pemicu. Ditambah lagi, kalau spiritualnya kosong melompong, makin gampang deh keseret arus negatif. Beda cerita kalau keluarganya harmonis, temenannya sehat, dan spiritualnya oke, dijamin hal-hal negatif itu ogah nempel!
“Orang-orang yang masih pegang teguh konsep religius, tradisi, agama, sama moralitas di lingkungannya, pasti enggak bakal terpengaruh,” tegas Luluk.
Ironisnya, stigma negatif dari masyarakat ke mereka yang “nyeleneh” ini malah bisa bikin keadaan makin parah. Jadi kayak bola salju, makin digelindingin makin gede masalahnya.
Jangan Dihakimi, Yuk Dirangkul! Asesmen Humanis Solusinya
Terus, gimana dong solusinya? Luluk nyaranin, jangan langsung main hakim sendiri! Kita butuh pendekatan yang humanis, kayak asesmen sama rehabilitasi. Ada beberapa tahap yang bisa dilakuin. Pertama, di-asesmen dulu, sejauh mana tingkat “penyimpangannya”. Kalau enggak parah-parah amat, enggak perlu deh rehabilitasi yang keras-keras banget.
Dia juga ngegarisbawahi peran lembaga agama dan pendidikan. Mereka ini harus jadi temen diskusi, bukan tukang hukum! “Sebagai pendidik harus responsif dan humanis, lembaga keagamaan juga perlu progresif dalam pendampingan,” katanya. Setuju!
Dari sisi regulasi, Luluk ngelihat UU ITE kayaknya belum cukup ampuh buat nyaring konten negatif. Makanya, dia nyaranin pemerintah sama platform digital kolaborasi lebih ketat biar sistem filternya makin greget. Penyuluhan dan penegasan aturan soal konten yang ngerusak moral juga penting banget!
Terakhir nih, Luluk ngajak birokrasi setempat buat ngadain lebih banyak kegiatan kreatif buat anak muda. “Selama ini, kegiatan di desa didominasi ibu-ibu PKK. Anak muda butuh wadah biar enggak nyemplung ke konten negatif,” pungkasnya. Nah, bener juga ya! Masa’ kegiatan di desa itu-itu doang?
Gimana menurut KLIKWARTAKUers? Setuju sama pandangan Dosen UMM ini? Yuk, diskusi di kolom komentar!
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage