MBG Seharusnya Perkuat Sistem Gizi, Bukan Sekadar Bagi Makanan Gratis
KLIK WARTAKU – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi andalan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dinilai punya fondasi ilmiah kuat, tapi berpotensi terjebak nuansa populis jika tidak dikelola ketat. Peringatan ini disampaikan Didik Hariyadi, S.Gz., M.Si, Dosen Gizi Poltekkes Kemenkes Pontianak.
Hal itu disampaikan oleh Didik Hariyadi, S.Gz., M.Si, Dosen Gizi Poltekkes Kemenkes Pontianak, ketika dimintai pandangan mengenai kebijakan tersebut.
Menurutnya, intervensi pemberian makan terbukti efektif mengatasi malnutrisi jika dirancang dengan baik. “Data Riskesdas menunjukkan adanya penurunan stunting dan wasting di daerah tertentu. Jadi target program sebaiknya berbasis data epidemiologi dan dipantau ketat,” ujarnya.
Meski begitu, ia mengingatkan ada unsur populis yang muncul, mulai dari komunikasi publik yang mudah menarik emosi, skala peluncuran yang terburu-buru, hingga penyederhanaan masalah gizi hanya sebatas makanan.
“Stunting itu multidimensi. Kalau dianggap bisa selesai dengan satu program, justru rawan miskebijakan,” tambahnya.
Aspek teknis menjadi tantangan paling kritis. Didik menekankan pentingnya standar menu berbasis pangan lokal yang sesuai kebutuhan gizi, pelatihan wajib bagi pengelola dapur, hingga sistem monitoring real-time yang dapat dipantau tenaga gizi puskesmas.
Ia juga menyoroti kebutuhan anggaran realistis agar bahan pangan bergizi, terutama protein hewani, bisa terpenuhi.
Isu keamanan pangan juga menjadi sorotan. Menurutnya, kasus keracunan adalah “red flag” yang mencerminkan lemahnya kepatuhan SOP, sanitasi, hingga pengawasan rantai dingin.
“Setiap insiden harus diinvestigasi menyeluruh dan dijadikan bahan revisi protokol nasional,” tegasnya.
Didik mengusulkan sistem pengawasan tripartit: pengawasan internal oleh ahli gizi daerah, eksternal oleh asosiasi profesi seperti Persagi, serta partisipasi masyarakat lewat tim orang tua dan guru.
“Pengawasan yang melibatkan banyak pihak bisa menutup celah konflik kepentingan,” katanya.
Keberhasilan MBG, lanjutnya, tidak cukup hanya dihitung dari jumlah porsi yang dibagikan. Outcome nyata harus dilihat pada penurunan angka wasting, stunting, anemia, hingga peningkatan kapasitas kognitif anak.
“Instrumen pengukuran harus jelas, termasuk antropometri dan status biomedis secara berkala,” jelasnya.
Di daerah terpencil, rantai pasok pangan, infrastruktur, dan keterbatasan SDM menjadi kendala utama.
Karena itu, Didik memberikan tiga rekomendasi: memperkuat sistem lewat SOP nasional yang ketat, memastikan MBG terintegrasi dengan program lintas sektor (seperti sanitasi dan air bersih), serta membangun monitoring dan evaluasi digital yang transparan dan bisa diakses publik.
“MBG jangan hanya dipandang sebagai pembagian makanan gratis, tapi harus menjadi pintu masuk untuk memperkuat sistem gizi nasional,” pungkasnya. **
Penulis: Novy Ramadhany
Kunjungi Medsos Klikwartaku.com
Klik di sini