Kue Tradisional Indonesia yang Terancam Punah, Cita Rasa Lestari yang Mulai Dilupakan
KLIKWARTAKU – Di balik kekayaan budaya dan kuliner Indonesia yang mendunia, ada satu warisan leluhur yang kini perlahan-lahan memudar: kue tradisional. Dari lemper, nagasari, kue rangi, hingga putu mayang, ragam jajanan pasar ini dulu jadi primadona di setiap sudut kampung dan pasar tradisional. Namun hari ini, nasib mereka justru berada di ujung tanduk.
Jika ditanya ke anak-anak muda zaman sekarang, tak sedikit yang bahkan tak mengenal nama-nama kue tradisional tersebut, apalagi merasakan nikmatnya. Generasi yang tumbuh dengan boba, croffle, atau mille crepes kini lebih akrab dengan jajanan kekinian yang fotogenik dan ramai di media sosial.
Sementara kue tradisional dengan bungkus daun pisang, rasa yang sederhana, dan tampilan yang tak terlalu Instagramable harus menerima kenyataan mulai terpinggirkan.
Masalahnya Bukan Sekadar Selera, Tapi Rantai Tradisi yang Terputus
Menurut pengamat kuliner tradisional, hilangnya kue-kue ini bukan hanya persoalan pasar atau tren. Ini adalah tentang hilangnya penerus. Banyak pembuat kue tradisional adalah ibu-ibu lansia yang tidak mewariskan keahlian mereka ke anak atau cucunya.
Alasannya klasik tidak dianggap menjanjikan secara ekonomi, padahal membuat kue seperti wajik, lupis, atau kue lapis butuh keterampilan tinggi dan kesabaran luar biasa.
“Saya belajar dari ibu saya sejak kecil,” kata Bu Nur, seorang penjual kue tradisional di Pasar Senen, Jakarta. “Tapi anak-anak saya nggak ada yang mau nerusin. Katanya capek, untungnya kecil. Saya sedih kalau nanti semua ini hilang.”
Kue seperti kue bugis, serabi notosuman, hingga cenil sebenarnya adalah bentuk kecil dari kearifan lokal. Ia mengandung cerita, bahan-bahan lokal, dan teknik yang diwariskan turun-temurun. Saat mereka punah, yang hilang bukan cuma makanan, tapi juga identitas.
Daya Saing yang Kalah di Era Visual dan Kecepatan
Di era digital, makanan bukan cuma soal rasa tapi juga soal tampilan. Kue-kue warisan leluhur ini sering dianggap kurang menarik untuk difoto, padahal rasanya tidak kalah dari dessert mancanegara.
Selain itu, distribusinya terbatas. Kue tradisional umumnya dijual pagi hari di pasar atau oleh pedagang keliling, tidak tahan lama, dan sulit ditemukan di platform digital food delivery.
Bandingkan dengan produk-produk kekinian yang punya kemasan menarik, bisa dipesan online, dan tersedia sepanjang hari. Tidak heran jika secara perlahan, kue-kue tradisional tergeser oleh camilan viral yang lebih adaptif.
Upaya Pelestarian: Dari Media Sosial Hingga Inovasi Rasa
Namun tidak semua cerita berakhir pilu. Beberapa kreator muda mulai menyadari pentingnya menyelamatkan kue tradisional. Di media sosial, muncul akun-akun seperti @jajananjadul dan @resepkampung yang membagikan resep dan cerita di balik kue tradisional.
Ada juga pelaku usaha kuliner yang mencoba menginovasi tampilan dan rasa. Misalnya, kue lapis dengan warna pastel dan packaging elegan, atau lemper isi smoked beef yang cocok untuk selera modern. Upaya ini jadi jembatan antara warisan budaya dan tuntutan pasar.
Pemerintah daerah dan komunitas budaya juga mulai menggelar festival jajanan tradisional, lomba memasak, hingga pelatihan membuat kue untuk anak muda. Tapi tentu, semua upaya ini perlu dukungan lebih luas terutama dari masyarakat yang mulai membuka mata dan lidah untuk kembali mencintai kuliner leluhur.
Karena sejatinya, mempertahankan kue tradisional bukan soal nostalgia. Ini soal merawat identitas.
Jangan tunggu sampai lemper, nagasari, atau kue cucur hanya tinggal gambar di buku sejarah. Yuk, mulai dari yang sederhana belanja di pasar tradisional, belajar bikin kue jadul, atau sekadar mengenalkan nama-namanya ke anak-anak kita.
Karena kalau bukan kita, siapa lagi?
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage