Kota Pontianak Masa Kolonial Hindia Belanda
Evolusi fisik perkembangan Kota Pontianak masa pemerintah kolonial Hindia Belanda dimulai sejak wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian dari wilayah Borneo Barat di bawah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda.
Berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie No.8 tanggal 27 Agustus 1849, wilayah Borneo dibagi menjadi dua yaitu Borneo Wester-Afdeeling (Borneo Barat) dan Borneo Zuider en Ooster Afdeeling (Borneo Timur dan Selatan).
Borneo Wester-Afdeeling (Borneo Barat) mempunyai pusat ibukota di Kesultanan Pontianak. Sejak itu pembangunan di wilayah residen Pontianak didominasi oleh bangunan-bangunan kolonial yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda, khususnya pada kawasan Tanah Seribu.
Kawasan ini direncanakan sebagai pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Pontianak yang didukung pusat-pusat perdagangan sepanjang tepian sungai. Untuk menjaga keamanan kawasan dan pemerintahan maka dibangun Benteng (Fort) Mariannem di sebelah selatan sungai dekat dengan dermaga utama.
Kawasan Tanah Seribu sebagai pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda sekaligus pusat aktivitas perdagangan Hindia Belanda, kemudian dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti Kantor Residen Borneo Barat (Residentie Kantoor), Rumah Tinggal Residen (Woning van den Resident), Rumah Komandan Militer (Woning van den Militaire Commandant), Sekolah Eropa, Rumah Sakit, Benteng dan fasilitas perdagangan, di antaranya terdapat gudang-gudang berfungsi tempat penyimpanan barang (pakhuis).
Kawasan Tanah Seribu menjadi kawasan yang berkembang pesat dibandingkan kawasan pusat istana kesultanan berada. Penataan kawasan Tanah Seribu mengikuti perkembangan sebuah kota dengan tata guna lahan yang telah diatur serta pembangunan jalan-jalan darat yang terintegrasi dan menghubungkan seluruh bagian wilayah kota.
Sementara bagian wilayah sekitar kawasan istana kesultanan tidak banyak mengalami perkembangan fisik kota kecuali munculnya permukiman-permukiman sporadis sekitar tepian sungai.
Pola awal perkotaan yang terbentuk pada kawasan ini menjadikan Fort Mariannem sebagai pusat struktur ruang kota akibat bentuk dan luas benteng yang dominan terhadap sekitarnya.
Pada tahun 1840 mulai dibangun jalur darat (Jalan Tanjungpura) yang menghubungkan jalur transportasi air yang ada.419 Struktur ruang kawasan Kota Pontianak semakin berkembang ke arah timur sejalan dengan pembangunan jalan darat untuk memudahkan transportasi dan pembangunan permukiman.
Keberadaan Jalan Tanjungpura sebagai jalur darat utama dan berada paralel sepanjang tepian sungai menjadi pengikat jalur transportasi darat lainnya yang terbentuk ke dalam satu kesatuan yang utuh dalam mendukung terbentuknya hierarki struktur kawasan yang berorientasi pada Fort Mariannem.
Di kawasan Tanah Seribu, pemukiman dan aktivitas pemerintahan kolonial Hindia Belanda berorientasi di sekitar Benteng Mariannen (sekarang merupakan kawasan pertokoan Nusa Indah). Benteng ini pada tahun 1830-an diubah menjadi Benteng Du Bus untuk mengenang Komisaris Jenderal Belanda Du Bus de Gisignies.
Keberadaan benteng ini kemudian diikuti dengan terciptanya aktivitas pasar apung di sekitar tepian Sungai Kapuas. Adanya jaminan keamanan dari pihak kolonial menyebabkan para pedang banyak yang menetap di sekitar pasar atau bergerak bagian dalam kawasan dengan menyusuri tepian parit yang ada.
Dalam perkembangannya kemudian pasar apung ini diikuti oleh datangnya pedagang-pedagang besar yang melabuh pada dermaga diwilayah Tanah Seribu, sehingga menjadi pemasukan yang besar bagi pemerintahan Belanda.Salah satu dermaga yang menjadi pusat perdagangan dan bongkar muat komoditas yaitu Dermaga Seng Hie yang berada persis di seberang istana kesultanan.
Dermaga ini awalnya dimiliki oleg seorang pedagang Cina bernama Then Seng Hie yang kemudian diambil alih oleh pihak kolonial karena aktivitas perdagangannya yang cukup ramai. Dermaga Seng Hie ini terhubung secara pergerakan ke Jalan Tanjungpura sehingga dermaga ini merupakan titik pertemuan antara jalur perdagangan sungai dan darat.
Pada peta wilayah Kota Pontianak tahun 1887 dapat dilihat kondisi fisik dan struktur ruang Kota Pontianak yang menunjukkan pembagian fungsi tata guna lahan yang lebih jelas. Bangunan pusat pemerintahan berada di kawasan tepian sungai bagian timur (sekarang Jalan Rahadi Osman), yaitu di seberang wilayah istana Kesultanan Pontianak dengan orientasi langsung ke sungai.
Bangunan-bangunan pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda semakin banyak dan dengan fungsi campuran (kotak warna kuning), sementara wilayah-wilayah permukiman (kampong) tersebar di sekeliling pusat pemerintahan.
Pada masa itu sudah terdapat beberapa permukiman (kampung) yang dinamakan sesuai dengan asal usul masyarakatnya atau nama sungai, seperti Kampung Tambi, Kampung Bali, Sungai Jawi, Kebun Cina dan lain-lain. Jalan-jalan juga sudah terbentuk dengan badan jalan yang lebar dan jelas. Akses ke dermaga dan sungai terdapat pada beberapa tempat dengan bangunan kopel.
Wilayah perdagangan terdapat tepat di tepian sungai dekat dengan dermaga (sekarang kawasan Jalan Tanjungpura). Pada wilayah perdagangan banyak dihuni oleh etnis Tionghoa sebagai pelaku usaha perdagangan yang menjalin kerjasama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Kawasan perdagangan di Jalan Tanjungpura ini nantinya berkembang hingga ke kawasan Jalan Gajahmada. Pada masa ini juga sudah mulai dibangun sekolah dan rumah sakit. Sekolah masih terbatas untuk kalangan Eropa dan bangsawan, sedangkan rumah sakit dibangun untuk kepentingan militer.
Pembangunan rumah-rumah tinggal bangsa Belanda mulai banyak dilakukan secara permanen, khususnya pada kawasan Lariverpark dengan model bangunan mengadopsi arsitektur Eropa dan setempat. Pola penataan kawasan sekitar permukiman Belanda sudah tertata dengan baik dan terencana.
Namun untuk kawasan perdagangan, khususnya permukiman Cina dan masyarakat lokal cenderung belum tertata dengan baik dari segi bentuk dan penataan kawasannya.
Pada bagian kawasan istana kesultanan (permukiman di Kampung Dalam dan Masjid Jamik) juga tidak banyak terjadi pembangunan sehingga kondisi fisik kawasannya cenderung tertinggal dibanding dengan kawasan Tanah Seribu.
Pada masa kolonial Hindia Belanda, Kota Pontianak menjadi ibukota (provinsi) Borneo Barat sehingga pusat pemerintahan Borneo Barat berada di Kota Pontianak berupa kantor Residen yang terletak di Lariverpark (sekarang Jalan Rahadi Osman).
Kantor Residen ini menjadi pusat administrasi pemerintahan Borneo Barat sebagai perwakilan pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Kantor ini memiliki halaman yang luas dengan bangunan bergaya arsitektur kolonial (Indo-Eropa) yang dilengkapi dengan serambi luar dan ruang pertemuan.
*Catatan Syafaruddin DaEng Usman
(Praktisi jurnalis 1988-sekarang, sejarawan dan arsiparis partikulir)
Kunjungi Medsos Klikwartaku.com
Klik di sini