Kisah Hanya Aljamal di Tengah Perang Gaza: Terasa Hidupku Sebuah Khayalan
KLIKWARTAKU — Hanya Aljamal, perempuan Palestina berusia 28 tahun, merasa hidupnya sebelum perang di Gaza seperti mimpi yang tak pernah nyata. “Aku merasa seperti telah digaslighting, kalau kehidupan yang kumiliki sebelum perang hanyalah rekayasa,” ungkapnya sedih.
Dua tahun lalu, Hanya Aljamal seorang guru bahasa Inggris yang tinggal sendiri di apartemen dan tengah merencanakan studi magister di bidang pembangunan internasional di Amerika Serikat. Ia sedang dalam proses pengajuan beasiswa. Namun semua itu kini terasa jauh dan nyaris mustahil.
Hari-harinya kini dimulai dari balkon kecil di apartemen yang ia tempati bersama kedua orang tua dan lima saudara kandungnya yang telah dewasa. Tempat itu adalah satu-satunya ruang di mana ia bisa merasakan sedikit ketenangan.
Dari sana, ia kerap melihat seorang tetangga lansia merawat tanaman dan bibit-bibit kecil di taman mungilnya, berdampingan dengan reruntuhan bangunan yang hancur. “Rasanya seperti bentuk perlawanan yang paling murni,” kata Hanya Aljamal. “Di tengah horor dan ketidakpastian, dia masih menyempatkan diri menanam sesuatu. Itu sungguh indah.”
Hanya Aljamal tinggal di Deir al-Balah, kawasan di tengah Jalur Gaza yang sejak Oktober 2023 menjadi zona perang. Ia merekam catatan harian audio yang kemudian dibagikan kepada media Inggris untuk dokumenter.
Sejak sekolah tempatnya mengajar ditutup akibat perang, Hanya Aljamal kehilangan peran dan identitasnya. “Sulit menemukan makna ketika seluruh dunia di sekitarmu runtuh,” ungkapnya.
Apartemen yang kini ia tempati adalah rumah kelimanya sejak perang dimulai. Menurut PBB, sekitar 90 persen warga Gaza telah mengungsi, banyak di antaranya lebih dari satu kali. Sebagian besar kini tinggal di tempat penampungan sementara.
Pada Senin dini hari, pukul 2 pagi, Hanya Aljamal terbangun karena suara ledakan. “Ada ledakan sangat dekat, lalu disusul yang kedua dan ketiga. Suaranya sangat keras dan menakutkan. Aku mencoba menenangkan diri agar bisa tidur lagi.”
Pemerintah Israel menyatakan operasi militer mereka bertujuan untuk menghancurkan kemampuan Hamas, kelompok yang oleh Israel, AS, Inggris, dan sejumlah negara lain dikategorikan sebagai organisasi teroris. Serangan ini merupakan respons atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang, mayoritas warga sipil, dan menculik 251 orang.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas, lebih dari 56.000 orang telah tewas dalam konflik ini, mayoritas adalah warga sipil. Israel hingga kini tidak mengizinkan jurnalis internasional meliput secara bebas dari Gaza.
Di tengah kekacauan, Hanya Aljamal kini bekerja untuk organisasi kemanusiaan Action for Humanity. Dalam salah satu kegiatannya, sekelompok anak perempuan mengenakan kaus putih dan kain keffiyeh di pinggang tampil menari sebelum menjalani sesi terapi kelompok.
Salah satu dari mereka menangis tersedu saat menceritakan kehilangan kedua orang tuanya. “Rasanya seperti kepedihan itu menular ke seluruh ruangan,” kata Hanya Aljamal.
Pada Selasa sore, ia menyaksikan lima layang-layang berwarna cerah menghiasi langit. “Aku suka layang-layang. Mereka seperti simbol harapan yang aktif,” katanya. “Setiap layang-layang berarti ada beberapa anak yang mencoba merasakan masa kecil yang normal.”
Namun malamnya, suara khas drone kembali terdengar. Ia menyebutnya sebagai orkestra malam hari yang menyiksa secara psikologis. “Kadang suaranya begitu keras hingga kau tak bisa mendengar pikiranmu sendiri. Suara itu adalah pengingat bahwa mereka terus mengawasi dan siap menyerang.”
Hari Kamis, suara tembakan terdengar sejak pagi. Hanya menduga itu bisa jadi karena pencurian, perebutan wilayah, atau seseorang mencoba melindungi gudang. Ia menghabiskan sebagian besar hari di tempat tidur, merasa pusing setiap kali mencoba bangun. Ia menyalahkan kondisi tubuhnya yang kurang gizi akibat berpuasa menjelang Iduladha.
“Kita tak bisa mengendalikan apapun, bahkan pikiran dan kesehatan kita sendiri,” katanya. “Aku butuh waktu untuk menerima bahwa aku bukan lagi diriku yang dulu.”
Sekolah tempat Hanya Aljamal mengajar telah hancur. Rencana kuliah ke luar negeri pun terasa makin jauh. “Rasanya seperti semua itu tidak pernah terjadi. Seolah-olah semua hanya delusi.”
Pagi hari Iduladha, suara burung dan azan membangunkannya. Dulu, ayahnya biasa menyembelih kambing dan membagi daging ke keluarga serta tetangga. Tapi sekarang, mereka tak punya cukup uang untuk membeli hewan kurban dan bahkan tak mampu bepergian.
“Seluruh warga Gaza sudah tiga bulan tidak makan protein, kecuali kacang fava kalengan,” ungkapnya.
Hari itu, keluarga Hanya mendapat kabar bahwa sepupunya tewas saat mencoba mengambil bantuan makanan. “Aku memang tak terlalu mengenalnya. Tapi kenyataan bahwa seseorang ditembak saat mencoba mencari makan itu sangat tragis,” sesalnya.
Beberapa pekan terakhir, ratusan kematian terjadi di titik distribusi bantuan, namun kebenarannya sulit diverifikasi karena akses jurnalis yang terbatas.
Hanya menyebut setidaknya 10 orang yang dikenalnya tewas dalam perang ini. Termasuk murid-muridnya dan seorang rekan guru yang baru bertunangan sebulan sebelum perang. Wanita itu seusia dengan Hanya Aljamal dan memiliki ambisi yang sama.
Kini, Hanya Aljamal bahkan harus menghapus nama dosen pembimbingnya dari CV. Dosen itu adalah mentornya dalam menulis dan kini telah meninggal dunia. “Sangat berarti ketika seseorang mengatakan mereka percaya padamu,” katanya. “Dan lebih menyakitkan lagi saat orang itu tak ada lagi.”
Ia merasa belum benar-benar berkabung untuk semua kehilangan itu. “Berkabung adalah kemewahan yang tak bisa dimiliki banyak orang di sini.”
Fajar merekah di Gaza dengan semburat merah muda dan biru. Hanya Aljamal kembali duduk di balkon, menatap langit.
“Sangat sulit menemukan keindahan di Gaza sekarang. Semuanya abu-abu, penuh jelaga, atau hancur,” ujarnya seraya menyebut tapi langit masih memberi warna dan keindahan yang tak bisa lagi diberikan bumi.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage