Kesepakatan Dagang “Indah dan Besar” India-AS Terancam Kandas di Detik Terakhir
KLIKWARTAKU — Tenggat 9 Juli 2025 yang ditetapkan pemerintahan Presiden Donald Trump semakin dekat, harapan tercapainya kesepakatan dagang antara India dan Amerika Serikat justru kian terjebak dalam tarik-ulur negosiasi yang alot.
Meski Juru Bicara Gedung Putih Karoline Leavitt sempat menyiratkan bahwa kesepakatan sudah dekat, dan Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman menyambut optimis gagasan perjanjian besar, baik, dan indah, kenyataannya para negosiator kedua negara masih berkutat dalam perdebatan sengit.
Isu utama yang menjadi batu sandungan antara lain: akses pasar pertanian, suku cadang otomotif, dan tarif baja asal India.
Delegasi perdagangan India bahkan memperpanjang masa tinggal mereka di Washington demi putaran pembicaraan tambahan. Sementara itu, India tetap bersikeras mempertahankan garis merah besar terkait proteksi sektor pertanian dan produk susu, sementara AS menuntut akses pasar yang lebih luas.
“Tujuh hari ke depan akan menjadi penentu: apakah India dan AS akan menyepakati ‘mini-deal’ terbatas atau justru menghentikan pembicaraan sepenuhnya—setidaknya untuk sementara waktu,” kata Ajay Srivastava, mantan pejabat perdagangan India dan pendiri lembaga think tank Global Trade Research Initiative (GTRI) di New Delhi.
Pertanian: Titik Paling Rawan
Menurut Richard Rossow dari Center for Strategic and International Studies, dua kendala terbesar dalam kesepakatan ini adalah:
Akses produk pertanian AS ke pasar India, yang selama ini sangat dilindungi oleh kebijakan pangan nasional India demi keamanan pangan dan perlindungan petani kecil.
Hambatan non-tarif India, seperti lebih dari 700 Quality Control Orders (QCO) yang dianggap AS memberatkan dan menghambat ekspor mereka.
QCO ini merupakan bagian dari inisiatif Aatmanirbhar Bharat (India Mandiri) yang bertujuan membatasi impor berkualitas rendah dan mendorong industri lokal. Namun, pakar seperti Suman Berry dari NITI Aayog menilai kebijakan ini bisa membebani pelaku UMKM dan menaikkan biaya produksi.
Ekspor Pertanian: Gajah di Tengah Ruang Perundingan
Saat ini perdagangan pertanian India-AS bernilai sekitar US$8 miliar, dengan India mengekspor beras, udang, dan rempah-rempah, sementara AS mengirim kacang almond, apel, dan lentil. Tapi Washington ingin memperluas ekspornya, mencakup jagung, kedelai, kapas, dan produk transgenik.
Jika India memberikan konsesi tarif, para ahli khawatir itu dapat melemahkan skema Harga Dukungan Minimum (MSP) yang menjamin pendapatan petani dari gejolak pasar.
“Tidak ada potongan tarif yang diharapkan untuk produk susu atau pangan pokok seperti beras dan gandum. Ini menyangkut lebih dari 700 juta jiwa di pedesaan India,” ujar Srivastava.
Ironisnya, sebuah dokumen NITI Aayog justru menyarankan agar India membuka akses lebih besar untuk impor pertanian AS, termasuk beras, ayam, jagung, almond, dan kedelai transgenik. Tapi belum jelas apakah itu mencerminkan kebijakan resmi pemerintah.
Ke Mana Arah Kesepakatan?
Srivastava dan sejumlah pengamat memperkirakan kemungkinan besar hanya akan tercapai “mini-deal” seperti kesepakatan AS-Inggris pada Mei lalu.
Dalam kerangka kesepakatan ini, India bisa saja:
Menurunkan tarif untuk barang industri seperti kendaraan dan suku cadang otomotif
Membuka akses terbatas untuk produk pertanian tertentu seperti etanol, kacang-kacangan, buah kering, minyak zaitun, dan anggur
AS diperkirakan juga akan mendorong India untuk membeli lebih banyak produk komersial skala besar, seperti minyak dan gas alam cair (LNG), pesawat Boeing, helikopter, hingga reaktor nuklir. Selain itu, Washington kemungkinan meminta pelonggaran FDI di sektor ritel dan aturan barang rekondisi yang menguntungkan raksasa seperti Amazon dan Walmart.
“Kesepakatan ini kemungkinan besar akan fokus pada penurunan tarif dan komitmen strategis, sedangkan isu-isu lebih besar seperti perdagangan jasa, hak kekayaan intelektual, dan regulasi digital akan dibahas di masa depan,” jelas Srivastava.
Jalan Menuju atau dari Meja Perundingan
Awalnya, pembicaraan perdagangan ini digambarkan sebagai simbiosis dua kekuatan ekonomi: AS berfokus pada produk modal padat modal, sementara India mengandalkan produk padat karya.
Namun realitas politik kini membuat jalurnya berliku. Jika pembicaraan gagal, Trump diprediksi tidak akan langsung menaikkan tarif menjadi 26 persen, tapi mengenakan tarif dasar 10 persen untuk sebagian besar impor India di atas tarif MFN (Most Favoured Nation).
“India mungkin akan diperlakukan lebih lunak dibanding 57 negara lain yang dikenai tarif pada April lalu. Tapi dengan Trump, kejutan selalu mungkin terjadi,” tutup Srivastava.
Dengan waktu yang terus menipis, nasib kesepakatan “indah dan besar” ini kini terombang-ambing antara peluang strategis dan kenyataan politik yang keras.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage