klikwartaku.com
Beranda Internasional Kebocoran Data Inggris Picu Ketakutan Warga Afghanistan: Keluarga Terancam Taliban

Kebocoran Data Inggris Picu Ketakutan Warga Afghanistan: Keluarga Terancam Taliban

Ilustrasi Keluarga warga Afghanistan ketakutan setelah data mereka bocor akibat kelalaian pejabat Inggris.

KLIKWARTAKU — Sejumlah warga Afghanistan yang tinggal di Inggris kini dihantui kekhawatiran mendalam setelah mengetahui bahwa data pribadi keluarga mereka di Afghanistan telah bocor akibat kelalaian pejabat Kementerian Pertahanan Inggris tiga tahun lalu.

Data tersebut mencakup nama ribuan warga Afghanistan yang pernah mengajukan relokasi ke Inggris setelah Taliban merebut kekuasaan pada tahun 2021.

Rahim (bukan nama sebenarnya), seorang pengungsi yang kini menetap di Inggris, mengatakan bahwa mertuanya termasuk dalam daftar data yang bocor. “Kami baru tahu pekan ini, tapi Taliban mulai mengejar mertua saya secara intens sejak 2023. Sekarang kami tahu penyebabnya,” ujarnya.

Menurut Rahim, mertuanya saat ini hidup dalam pelarian dan bersembunyi di rumah-rumah aman yang dikelola oleh LSM sejak Desember 2023. Ia telah tiga kali mengajukan permohonan relokasi ke Inggris melalui skema Afghan Relocations and Assistance Policy (ARAP), namun ditolak karena dianggap tidak memiliki hubungan kerja langsung dengan pemerintah Inggris.

Namun pada permohonan terakhir, Rahim menyebut ada bukti kuat mertuanya pernah bekerja bersama pasukan Inggris. “Risikonya sekarang nyata dan sangat tinggi. Ini hanya soal waktu sebelum Taliban menemukannya,” ucapnya.

Pemerintah Inggris melalui Kementerian Pertahanan (MoD) menyatakan tidak bisa mengomentari kasus individu. Namun dalam tinjauan ulang kebocoran data yang dilakukan pada tahun 2025, MoD menyebutkan tidak ditemukan bukti kuat adanya kampanye pembalasan sistematis akibat kebocoran data tersebut.

Meski demikian, banyak warga Afghanistan yang terkena dampak merasa pengakuan tersebut belum cukup. Seorang pria yang diberi nama samaran “A”, yang pernah bekerja langsung dengan pasukan Inggris dan kini telah menetap di Inggris bersama keluarganya, menyebut insiden ini sebagai kesalahan terbesar pemerintah Inggris.

A mengatakan bahwa pengajuannya ke program relokasi mencantumkan informasi tentang orang tua dan saudara kandungnya yang kini masih berada di Afghanistan. “Ketika saya tahu data kami bocor, saya langsung menelepon orang tua saya di Kabul dan menyuruh mereka segera meninggalkan kota. Tapi hingga kini saya belum dapat kabar lagi dari mereka.”

Korban lainnya, “B”, mengaku menerima email dari MoD berisi peringatan tentang kemungkinan datanya bocor. Setelah memeriksa nomor referensinya, ia menemukan tanda merah—artinya informasi pribadinya telah terekspos. Ia khawatir karena keluarganya tidak tahu bahwa ia pernah bekerja dengan pihak Inggris.

“Setelah Taliban berkuasa, mereka sering bertanya pada ayah saya tentang keberadaan saya. Ayah sangat stres dan akhirnya meninggal enam bulan lalu,” katanya lirih. “Saya berharap dulu tidak memberikan nama-nama saudara saya ke pihak Inggris.”

Meski Menteri Pertahanan Inggris John Healey menegaskan bahwa “sangat kecil kemungkinan daftar itu kini menambah risiko,” kenyataan di lapangan berkata lain. Para korban kebocoran data merasa telah dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka dan keluarga.

Kisah ini menjadi peringatan serius tentang pentingnya menjaga data sensitif dalam situasi konflik, serta tanggung jawab negara-negara besar terhadap mereka yang pernah membantu dalam misi militer.***

KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat

Homepage
Bagikan:

Iklan