klikwartaku.com
Beranda Nasional Harga Beras Naik, Ketahanan Pangan Indonesia Dianggap Rapuh

Harga Beras Naik, Ketahanan Pangan Indonesia Dianggap Rapuh

Ilustrasi beras/Pixabay

KLIKWARTAKU – Kenaikan harga beras yang terus berlanjut sejak 2022 hingga 2025 menjadi peringatan serius bagi ketahanan pangan nasional. Ketergantungan Indonesia pada satu komoditas dinilai membuat sistem pangan nasional semakin rentan, meskipun berbagai daerah memiliki potensi sumber pangan lokal yang beragam.

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai bahwa pendekatan ketahanan pangan di Indonesia masih terlalu sempit karena hanya berfokus pada ketersediaan beras.

“Pemerintah selalu mengklaim surplus beras sebagai bukti ketahanan pangan. Namun kenyataannya, harga di pasar tetap naik,” ujar Bhima, Rabu 17 September 2025.

Menurut Bhima, harga beras di pasar tradisional kini sudah tembus Rp15.000 per kilogram, padahal sebelumnya masih di bawah Rp12.500. Ia juga menyoroti bahwa kebijakan food estate tidak memberikan dampak nyata terhadap harga di lapangan.

“Di Merauke, Papua, misalnya, harga beras tetap naik meskipun menjadi lokasi food estate. Artinya, kebijakan ini tidak menjawab persoalan struktural,” katanya.

Kritik senada disampaikan oleh Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRPP), Ayip Said Abdullah. Ia menyebut Indonesia mengalami anomali pangan, di mana negara produsen beras justru menjadi salah satu importir terbesar.

“Kita ini produsen beras, tapi juga importir besar. Duit dari impor tidak kembali ke masyarakat. Ini ironi besar,” kata Ayip.

Ia menambahkan, kondisi ini tercermin dalam Global Hunger Index (GHI). Pada 2022, Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan tingkat kelaparan tertinggi di Asia Tenggara dengan skor 17,9. Pada 2023, posisinya justru naik menjadi peringkat kedua, meski skornya sedikit menurun menjadi 17,6.

GHI mengukur tingkat kelaparan berdasarkan ketersediaan pangan, stunting, dan kemiskinan. Menurut Ayip, kondisi paling memprihatinkan terjadi di daerah pedesaan, terutama kawasan timur Indonesia, yang mencatat tingkat kelaparan lebih tinggi dibanding wilayah perkotaan.

Selain soal akses pangan, Ayip juga menyoroti nasib petani, khususnya di kawasan utara Pulau Jawa yang menjadi sentra produksi padi nasional. Ia menyebut petani menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kerusakan agroekosistem, penyusutan lahan sawah hingga buruknya tata kelola pertanian.

“Petani hanya dijadikan alat produksi. Mereka dipasok pupuk dan input pertanian terus-menerus, tapi kesejahteraannya tidak pernah dijamin,” tegas Ayip.

Menurutnya, untuk memperkuat ketahanan pangan, Indonesia perlu mengubah pendekatan dari sekadar mengejar swasembada beras menjadi kedaulatan pangan yang berbasis pada keragaman pangan lokal.

“Kita tidak bisa hanya bergantung pada beras. Banyak potensi pangan lokal yang bisa dikembangkan. Ini soal pilihan politik pangan,” pungkasnya.***

Kunjungi Medsos Klikwartaku.com

Klik di sini
Bagikan:

Iklan