klikwartaku.com
Beranda Nasional Fenomena Kemarau Basah Jadi Pola Iklim Baru, BRIN Minta Pemerintah Siap Hadapi Risiko Bencana

Fenomena Kemarau Basah Jadi Pola Iklim Baru, BRIN Minta Pemerintah Siap Hadapi Risiko Bencana

Ilustrasi kemarau/Pixabay

KLIKWARTAKU – Perubahan cuaca yang semakin tidak menentu menandai kemunculan pola iklim baru yang dikenal dengan sebutan “kemarau basah”. Fenomena ini bukan bersifat sementara, melainkan merupakan pergeseran iklim permanen yang mulai teridentifikasi sejak 2018.

Peneliti klimatologi BRIN, Erma Yulihastin, mengungkapkan bahwa kemarau basah adalah kondisi ketika hujan lebat masih sering terjadi meskipun telah memasuki musim kemarau. Ia menekankan bahwa fenomena ini sudah menjadi pola tetap dan harus direspons secara serius oleh pemerintah.

“Kemarau sekarang ini menipu. Terlihat kering, tetapi hujan masih sering turun deras. Kami menyebutnya kemarau basah, dan ini tren yang muncul konsisten sejak 2018,” jelas Erma.

Fenomena kemarau basah berdampak langsung pada meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, hingga genangan air. Beberapa wilayah terdampak parah antara lain Jakarta, Bandung, dan Purwakarta.

Erma mengingatkan pentingnya peningkatan kapasitas drainase dan pengelolaan air secara terintegrasi dari hulu ke hilir. Ia menyarankan agar pembangunan infrastruktur tidak lagi dilakukan secara sektoral, melainkan dengan pendekatan lintas wilayah, terutama untuk kawasan aglomerasi seperti Jabodetabek dan Jawa Barat.

“Kita tidak bisa hanya memikirkan satu kota. Sistem drainase dan tata kelola air harus terhubung antardaerah,” tegasnya.

Menurut Erma, pola kemarau basah dipicu oleh tekanan udara rendah di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia yang membawa massa udara lembap ke wilayah Indonesia. Meskipun secara kalender telah memasuki musim kemarau pada awal Juni, hujan masih turun di banyak daerah.

Untuk itu, ia menilai mitigasi perubahan iklim harus menjadi kebijakan prioritas. Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketahanan infrastruktur terhadap cuaca ekstrem.

“Kemarau basah ini bukan anomali musiman, tapi pola baru yang butuh penanganan jangka panjang,” ujarnya.

Di akhir keterangannya, Erma juga menekankan pentingnya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap cuaca harian. Ia mendorong masyarakat untuk menjadikan prakiraan cuaca sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari, guna mengantisipasi kondisi ekstrem.

“Masyarakat harus mulai menjadikan informasi cuaca sebagai panduan harian, seperti halnya mereka memeriksa jam atau berita,” tutupnya.

KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat

Homepage
Bagikan:

Iklan