Era Medsos Jadi Media Utama, Dr. Edi Santoso Soroti Pentingnya Regulasi AI dan Literasi Digital
KLIKWARTAKU – Perkembangan pesat teknologi Artificial Intelligence (AI) atau akal imitasi di kehidupan sehari-hari memicu desakan akan regulasi. Pengamat komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr. Edi Santoso, menegaskan pentingnya payung hukum untuk mengawal pertumbuhan AI yang super cepat ini.
Menurut Dr. Edi, masyarakat kini dihadapkan pada tantangan baru. Jika dulu hoaks hanya sebatas rekayasa judul dan tangkapan layar, kini AI memungkinkan pembuatan video dan audio palsu yang jauh lebih sulit diidentifikasi keasliannya.
“Makin sulit untuk diidentifikasi asli atau tidaknya, terutama bagi orang-orang yang tidak memiliki atau tingkat literasi medianya rendah,” ujar Dr. Edi dikutip dari Antara. Munggu, 22 Juni 2025
Hak Cipta dan Replikasi Karya Seni Jadi Ancaman Nyata
Kebutuhan akan regulasi AI semakin mendesak mengingat isu-isu lain yang bisa timbul, seperti hak cipta. Dr. Edi menyoroti betapa mudahnya karya seni direplikasi menggunakan AI saat ini.
“Pertumbuhan di sisi ini (akal imitasi) begitu cepat, tetapi regulasi yang mengaturnya tertatih-tatih, sangat lambat. Jadi, saya kira regulasi mengenai penggunaan AI ini sangat mendesak,” tegas Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Unsoed itu.
Media Sosial
Dr. Edi juga menyoroti evolusi media sosial yang kini telah menjadi media utama. Berdasarkan data, sekitar 70 persen pengguna internet adalah pengguna media sosial. Ini berarti media sosial bukan lagi sekadar alternatif, melainkan telah mengubah lanskap komunikasi secara drastis.
Dulu, kehadiran media sosial disambut sebagai era demokratisasi media, di mana setiap individu bisa menjadi konsumen sekaligus produsen pesan. Namun, dalam perjalanannya, muncul sisi gelap yang tak terduga.
“Ternyata kita tidak setara dengan apa yang kita bayangkan dalam berinteraksi dengan pengguna media sosial yang lain karena ada apa yang kita sebut dengan algoritma yang membuat interaksi kita dibatasi. Yang akhirnya menimbulkan banyak ekses seperti filter bubble dan echo chamber,” jelas Dr. Edi.
Fenomena ini, imbuhnya, menyebabkan banyak persoalan, seperti orang yang merasa pendapatnya mewakili mayoritas hanya karena dikelilingi oleh pandangan serupa di media sosial, padahal itu tidak mencerminkan realitas sesungguhnya.
Literasi Digital Kunci Hadapi Hoaks dan Ujaran Kebencian
Dr. Edi mengakui bahwa hoaks bukanlah hal baru. Namun, melalui media sosial, penyebarannya menjadi jauh lebih masif, dan seiring dengan itu, ujaran kebencian pun kian merebak.
“Media sosial itu massal dan pesan bisa menyebar begitu cepat,” katanya.
Oleh karena itu, literasi digital secara masif kepada pengguna media sosial menjadi krusial untuk mengantisipasi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
Meski demikian, Dr. Edi tidak menampik sisi positif media sosial, seperti interaktivitas dan akses informasi yang melimpah. “Itu juga hal yang tidak bisa kita pungkiri. Dahulu informasi terbatas pada kalangan tertentu, sekarang ketika internet dan perangkat digital dipakai oleh banyak orang, semua orang juga punya akses informasi yang melimpah,” pungkas Dr. Edi.
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage