Daftar Negara yang Paling Ketakutan Jika Selat Hormuz Ditutup, Terancam Gelap Gulita
KLIK WARTAKU – Ketika Selat Hormuz menjadi titik api terbaru dalam perang Iran melawan koalisi AS-Israel, dunia tidak hanya menyaksikan ketegangan militer, tetapi juga potensi kehancuran salah satu urat nadi energi global.
Jalur sempit sepanjang 39 km itu bukan sekadar selat biasa. Hormuz adalah pintu keluar bagi sekitar 20% perdagangan minyak mentah dunia dan sepertiga pasokan LNG global.
Dan sekarang, pintu itu terancam dikunci rapat oleh Teheran.
Jika Iran benar-benar memblokir Selat Hormuz, dunia akan menghadapi krisis energi terbesar sejak embargo minyak 1973.
Barat: Ketergantungan pada Jalur Tradisional
Amerika Serikat memang telah menjadi produsen minyak terbesar dunia berkat revolusi shale, tapi tetap tidak imun terhadap fluktuasi global.
Eropa jauh lebih rentan: setelah memangkas pasokan gas Rusia karena perang Ukraina, kini mereka tergantung pada LNG dari Qatar dan minyak dari Teluk yang semuanya melewati Hormuz.
Jika Hormuz tertutup:
-
Kapal tanker tidak bisa keluar dari Teluk Persia (Arab Saudi, UEA, Kuwait, Iran, Irak).
-
Pasokan ke Eropa dan Asia akan terganggu.
-
Harga minyak bisa menembus USD 150–180 per barel.
-
Ketergantungan pada AS sebagai pemasok LNG dan energi akan meningkat ekstrem.
“Dalam seminggu, Barat bisa mulai kehabisan pasokan strategis, dan krisis energi akan memicu inflasi parah,” ujar seorang pakar dari London School of Economics.
Negara Mana yang Paling Rentan jika Selat Hormuz Ditutup?
Selat Hormuz adalah jalur vital bagi banyak negara Asia Timur dan Selatan. Jika benar-benar ditutup, gelombang ekonomi yang mengikutinya bisa lebih destruktif dari pandemi bagi negara-negara berikut:
-
Jepang: Lebih dari 88% impor minyaknya melewati Hormuz. Tanpa cadangan energi domestik dan dengan ketergantungan tinggi pada energi fosil, Jepang bisa mengalami kekacauan pasokan dan lonjakan biaya listrik serta industri berat.
-
Korea Selatan: Sekitar 72% minyak mentahnya berasal dari Timur Tengah. Krisis di Hormuz berarti krisis industri manufaktur, terutama sektor semikonduktor dan otomotif yang haus energi.
-
India: Mengimpor hampir 80% kebutuhan minyaknya, sebagian besar dari Teluk. Harga BBM bisa melambung gila-gilaan, memicu inflasi pangan dan kerusuhan sosial di kalangan kelas pekerja.
-
Tiongkok: Meski lebih siap berkat pipeline dari Rusia dan Asia Tengah, sekitar 40% impor minyaknya tetap lewat Hormuz. Disrupsi berarti perlambatan industri dan risiko stagflasi.
-
Singapura dan Indonesia: Negara transit dan pengguna besar bahan bakar laut dan penerbangan. Jika harga minyak melonjak ke USD 180 per barel, harga BBM di Indonesia bisa menyentuh Rp 20.000 per liter, memicu inflasi besar dan tekanan fiskal APBN.
Blokade Hormuz tidak hanya memotong jalur logistik, ia bisa menjatuhkan neraca perdagangan, menciptakan defisit fiskal, hingga memicu gejolak sosial di negara-negara rawan.
Timur: Membangun Poros Energi Alternatif
Negara-negara Timur, terutama China dan India, telah mempersiapkan diri dengan jalur energi alternatif melalui proyek Belt and Road, kerja sama bilateral dengan Rusia, dan pembangunan cadangan minyak strategis.
Lebih penting, poros energi Timur (BRICS+, OPEC+, dan SCO) semakin aktif membentuk sistem perdagangan minyak non-dollar, yang bisa mengurangi tekanan akibat blokade.
Siapa yang Kehabisan Energi Duluan?
-
Barat: Paling cepat terdampak secara politik karena tekanan demokratis dan publik yang tidak tahan harga energi tinggi.
-
Timur: Lebih siap secara logistik dan politik, tapi tetap menghadapi tantangan suplai.
Blokade Hormuz tidak sekadar ancaman regional, tapi ujian global tentang siapa yang paling tahan menghadapi krisis energi.
Dunia kini tidak hanya bersiap menghadapi konflik bersenjata, tapi juga pertarungan tak kasatmata: pertarungan logistik, diplomasi energi, dan ketahanan ekonomi.
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage