klikwartaku.com
Beranda Internasional Aksi Heroik Pekerja Migran Selamatkan Pengemudi di Singapura Picu Debat Hak Tenaga Kerja

Aksi Heroik Pekerja Migran Selamatkan Pengemudi di Singapura Picu Debat Hak Tenaga Kerja

Aksi penyelamatan pengemudi yang terperosok ke lubang jalan oleh pekerja migran di Singapura kembali memicu perdebatan soal hak dan perlakuan terhadap buruh migran yang menjadi tulang punggung pembangunan negara. Foto: Tangkapan layer YouTube NEWS9 Live

KLIKWARTAKU — Tindakan heroik tujuh pekerja migran yang menyelamatkan seorang pengemudi wanita dari lubang jalan sedalam tiga meter di Singapura telah memicu perdebatan nasional tentang hak dan perlakuan terhadap tenaga kerja asing berupah rendah.

Peristiwa terjadi pada Sabtu lalu ketika sebuah mobil Mazda terperosok ke dalam lubang mendadak di tengah jalan raya yang padat. Melihat insiden itu, sekelompok pekerja konstruksi terdekat segera bertindak.

Tanpa ragu, mereka mengambil tali dari lokasi proyek dan menolong pengemudi yang sudah keluar dari mobil tersebut. Dalam waktu kurang dari lima menit, korban berhasil ditarik keluar dengan selamat.

“Kami hanya ingin menyelamatkan nyawa. Tidak ada yang lebih penting dari itu,” ujar mandor proyek asal India, Suppiah Pitchai Udaiyappan, kepada media lokal.

Aksi tersebut menuai pujian luas di media sosial. Namun, di balik sorotan positif, muncul kembali pertanyaan serius: Apakah pekerja migran di Singapura mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang layak?

Realitas Pahit di Balik Aksi Heroik

Singapura memiliki sekitar 1,17 juta pekerja migran yang umumnya berasal dari Bangladesh, India, dan Myanmar. Mereka mengisi pekerjaan berat, kotor, dan berbahaya yang dihindari oleh warga lokal, seperti konstruksi, galangan kapal, dan manufaktur.

Namun, kondisi kehidupan mereka seringkali memprihatinkan. Tanpa jaminan upah minimum, banyak yang hanya memperoleh sekitar S$300 (Rp3,5 juta) per bulan. Mereka tinggal di asrama padat di luar area pemukiman warga, dan kerap menghadapi eksploitasi, kerja berlebihan, serta gaji yang tidak dibayarkan.

Isu transportasi buruh juga kembali disorot. Banyak pekerja masih diangkut menggunakan truk terbuka tanpa sabuk pengaman—praktik yang telah menimbulkan kecelakaan fatal. Sepanjang tahun 2024 saja, tercatat empat pekerja tewas dan lebih dari 400 luka-luka akibat kecelakaan truk pekerja.

Meski parlemen telah membahas larangan truk terbuka berkali-kali, pemerintah menyatakan bahwa pelarangan penuh belum memungkinkan karena dapat membebani usaha kecil dan menyebabkan keterlambatan proyek-proyek publik seperti sekolah dan rumah sakit.

“Penghargaan simbolis tidak cukup untuk menutupi ketimpangan struktural yang dialami para pekerja migran setiap hari,” kritik Suraendher Kumarr dari kelompok advokasi Workers Make Possible. Ia menyebut penghargaan berupa koin kenang-kenangan kepada tujuh pekerja itu sebagai bentuk tokenisme semata.

Apresiasi yang Tak Seimbang

Kementerian Tenaga Kerja Singapura menyatakan “terdorong oleh masukan publik” yang meminta bentuk penghargaan lebih nyata, namun belum menjawab tuntutan konkret seperti pemberian status penduduk tetap atau kenaikan upah.

Sementara itu, organisasi It’s Raining Raincoats berhasil menggalang donasi sebesar S$72.000 yang akan dibagi rata kepada tujuh pekerja tersebut sebagai bentuk penghargaan masyarakat.

Namun, banyak pihak tetap menilai perlakuan terhadap pekerja migran masih jauh dari kata adil. “Mereka dianggap sebagai kelas pekerja yang berbeda. Bahkan setelah berkontribusi selama puluhan tahun, mereka tetap tidak punya peluang menjadi penduduk tetap,” kata Alex Au dari Transient Workers Count Too.

Pekerja seperti Suppiah Udaiyappan telah mengabdi di Singapura selama lebih dari 22 tahun. Namun tetap tidak memiliki akses untuk menetap secara permanen, bahkan perlu izin pemerintah jika ingin menikah dengan warga lokal.

Harapan Akan Perubahan Nyata

Meski kesadaran publik terhadap isu pekerja migran meningkat pasca-pandemi Covid-19 (yang mengungkap kondisi buruk di asrama buruh) aktivis menyatakan perubahan nyata masih berjalan sangat lambat.

Mereka mendesak reformasi lebih luas, termasuk: Upah layak yang dijamin undang-undang, Perlindungan hukum bagi pelapor pelanggaran (whistleblower), Akses layanan kesehatan bersubsidi, serta Penghentian transportasi pekerja dengan truk terbuka.

“Pekerja migran telah menunjukkan sisi kemanusiaan mereka. Kini saatnya Singapura menunjukkan kemanusiaannya,” ujar Jaya Anil Kumar dari Humanitarian Organization for Migration Economics.

Aksi penyelamatan yang terjadi dalam hitungan menit tersebut, seharusnya menjadi pengingat bahwa para pekerja migran bukan hanya tulang punggung pembangunan—tetapi juga bagian dari kemanusiaan bersama yang harus dihargai lebih dari sekadar pujian.***

KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat

Homepage
Bagikan:

Iklan