Fenomena Soft Resign Viral di LinkedIn, Kerja Tapi Udah Nggak Niat
KLIKWARTAKU – Belakangan ini, dunia kerja dihebohkan dengan istilah baru yang viral di LinkedIn “soft resign.” Istilah ini ramai diperbincangkan warganet karena menggambarkan kondisi yang diam-diam sering terjadi di banyak tempat kerja karyawan yang secara teknis masih bekerja, tapi mentalnya sudah “cabut duluan.”
Fenomena soft resign merujuk pada kondisi di mana seseorang masih secara resmi bekerja di suatu perusahaan, namun telah kehilangan semangat, motivasi, bahkan komitmen terhadap pekerjaan. Mereka datang tepat waktu, menyelesaikan tugas seperlunya, tetapi tanpa antusiasme dan sering kali hanya sekadar menggugurkan kewajiban.
Unggahan yang memicu perbincangan ini pertama kali muncul dari seorang pengguna LinkedIn dengan latar belakang profesional di bidang kreatif. Ia menceritakan pengalamannya merasa stuck, burnout, dan “ngerjain kerjaan cuma setengah hati” sambil menunggu panggilan dari tempat kerja baru.
“Saya sadar, secara teknis saya belum resign, tapi hati dan pikiran saya sudah enggak di sini. Rasanya kerja kayak robot, nunggu hari H buat benar-benar cabut,” tulisnya. Unggahan ini sontak dibanjiri ribuan komentar dari sesama profesional yang merasa relate dengan kondisi tersebut.
Soft Resign: Gejala atau Pertanda?
Psikolog industri dan organisasi, Dian Saraswati, M.Psi., menilai fenomena ini sebagai gejala serius yang tidak boleh diremehkan. “Soft resign biasanya jadi bentuk coping mechanism dari stres kerja atau kekecewaan terhadap sistem di tempat kerja. Orang tetap bertahan karena berbagai alasan belum dapat kerjaan baru, takut tidak punya pemasukan, atau sekadar nggak enak hati keluar mendadak,” ujar Dian kepada Klikwartaku.
Namun, kondisi ini menurutnya justru merugikan kedua belah pihak. “Karyawan tidak berkembang, perusahaan pun kehilangan produktivitas optimal. Ini tanda bahwa ada yang perlu dibicarakan apakah soal manajemen, beban kerja, atau budaya kerja yang toksik.”
HR Ditantang Lebih Peka
Bagi para praktisi HR, fenomena ini menjadi tantangan tersendiri. Banyak perusahaan yang baru menyadari adanya karyawan yang “soft resign” ketika performa menurun drastis atau justru saat mereka mengajukan surat resign resmi.
“Kalau dulu ada istilah quiet quitting, sekarang soft resign ini semacam versi lanjutan. Ini semestinya jadi wake-up call buat perusahaan untuk lebih mendengarkan suara karyawan,” kata Aulia Ramadhan, HR Manager di salah satu startup teknologi di Jakarta.
Beberapa perusahaan pun mulai membuka ruang komunikasi dua arah melalui survei kepuasan kerja, sesi one-on-one, dan kebijakan fleksibel, demi mengantisipasi terjadinya fenomena ini.
Antara Dilema dan Realita
Di sisi lain, banyak netizen yang justru mengaku merasa bersalah ketika mengalami fase soft resign. Mereka khawatir dianggap tidak profesional, tetapi di sisi lain merasa tidak punya pilihan selain “bertahan sampai ada tempat yang lebih baik.”
“Kadang bukan karena malas, tapi karena mental dan energi udah terkuras. Kita pengin resign, tapi realita hidup enggak semudah klik tombol ‘keluar’,” komentar salah satu pengguna LinkedIn yang ceritanya ikut viral.
Fenomena soft resign ini seolah menjadi cerminan dari tekanan dunia kerja modern yang semakin kompleks menuntut produktivitas tinggi, sementara kesehatan mental dan ruang aktualisasi sering kali terabaikan.
Apakah kamu juga sedang ‘kerja tapi udah nggak niat’?
Bicara soal soft resign, yang paling penting bukan hanya soal kapan kita pergi, tapi juga soal bagaimana kita memahami kebutuhan diri dan memperjuangkan tempat yang bisa menghidupkan kembali semangat.
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage