Perang Iran-Israel Ancam Industri RI: Biaya Produksi Naik, Ekspor Terancam Rugi Miliaran Dolar
KLIK WARTAKU – Perang antara Iran dan Israel tidak hanya mengguncang geopolitik global, tetapi juga menimbulkan risiko serius bagi ketahanan industri Indonesia.
Ketergantungan industri nasional terhadap energi dan bahan baku impor menjadikan sektor manufaktur sangat rentan terhadap gejolak harga dan gangguan rantai pasok global.
Pasar energi menjadi titik pertama yang terimbas. Sebagai kawasan penghasil hampir 30% produksi minyak dunia, ketegangan di Timur Tengah mendorong harga minyak Brent berfluktuasi antara USD 73—92 per barel sejak pecahnya konflik.
Produksi minyak Iran yang mencapai 3,2 juta barel per hari terancam terganggu, memperparah ketidakpastian pasokan energi global. Analis memperkirakan lonjakan harga hingga 20% pada 2025 jika konflik meluas, terutama bila Selat Hormuz—jalur vital 30% ekspor minyak global—ikut terganggu.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan industri dalam negeri harus segera memitigasi dampak lonjakan energi dan gangguan logistik. Ketergantungan terhadap impor energi, komponen input produksi, dan fluktuasi nilai tukar dinilai dapat melemahkan daya saing ekspor industri Indonesia.
“Industri harus lebih efisien dalam penggunaan energi dan mulai diversifikasi sumber energi ke domestik, termasuk energi terbarukan dan bahan bakar alternatif,” ujarnya dalam konferensi pers resmi di Jakarta, Selasa (17/6). Langkah ini, tambahnya, juga mendukung visi kedaulatan energi nasional yang digaungkan Presiden Prabowo.
Kementerian Perindustrian juga mendorong pelaku industri untuk beralih ke bioenergi, panas bumi, serta pemanfaatan limbah industri sebagai sumber energi alternatif.
Sektor manufaktur bahkan diminta aktif memproduksi komponen pendukung energi terbarukan seperti mesin pembangkit dan infrastruktur energi untuk memperkuat ketahanan nasional.
Di sektor pangan, gejolak nilai tukar dan inflasi logistik menyebabkan lonjakan harga bahan baku impor. Agus menegaskan bahwa hilirisasi produk agro adalah solusi jangka panjang untuk menekan ketergantungan pada impor pangan.
“Industri harus memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan domestik agar menciptakan nilai tambah dan mengamankan pasokan pangan nasional,” ujarnya.
Kementerian juga mendorong pemanfaatan Local Currency Settlement (LCS) untuk transaksi internasional sebagai alat stabilisasi nilai tukar, khususnya terhadap negara mitra seperti Tiongkok, Malaysia, dan Jepang. Fasilitas dari Bank Indonesia ini menjadi salah satu solusi mengurangi dampak langsung perang terhadap nilai tukar rupiah.
Gangguan Rantai Pasok dan Risiko Rugi Miliaran Dolar
Krisis geopolitik ini telah memperlihatkan betapa rapuhnya rantai pasok global. Gangguan di Selat Hormuz dan Terusan Suez menyebabkan pengalihan rute pelayaran melalui Tanjung Harapan, Afrika, memperpanjang waktu pengiriman hingga 15 hari dan menaikkan ongkos kontainer 150–200%.
Sektor otomotif dan elektronik Indonesia, yang bergantung 65% pada komponen impor, menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu—berpotensi menimbulkan kerugian ekspor sebesar USD 500 juta.
Sektor tekstil dan alas kaki juga terpukul. Kenaikan biaya logistik menggerus margin keuntungan hingga 7%, membuat Indonesia kalah bersaing dari Vietnam dan Bangladesh. Industri nikel dan baja pun tak luput: biaya angkut batubara naik 20% dan pengiriman tertunda 3–4 minggu, mengancam kerugian ekspor hingga USD 1,2 miliar.
Konflik ini juga mempercepat tren “friend-shoring”, di mana negara-negara Barat memindahkan pasokan dari kawasan konflik ke mitra yang lebih stabil.
Meskipun Indonesia berpeluang besar sebagai pemasok utama nikel untuk baterai kendaraan listrik dunia, hambatan seperti kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa bisa meningkatkan biaya ekspor hingga 12%.
Ketahanan pangan juga rawan terganggu. Sekitar 64% bahan baku pupuk fosfat Indonesia berasal dari Mesir, yang kini berada dalam radius ketegangan kawasan. Meski volumenya tidak dominan, potensi gangguan bisa berimbas pada produktivitas pangan nasional.
Kemenperin menegaskan bahwa ketegangan global justru harus dimanfaatkan sebagai momentum mempercepat hilirisasi dan kemandirian industri. “Hilirisasi bukan sekadar menambah nilai ekonomi, tetapi fondasi kedaulatan energi dan pangan nasional,” tegas Agus.
Insentif fiskal, kemudahan investasi, dan reformasi kebijakan akan terus diberikan untuk mempercepat transformasi industri dalam negeri menjadi lebih efisien dan tahan guncangan global. “Ketahanan pangan dan energi bukan hanya tugas sektor primer. Industri manufaktur harus menjadi ujung tombaknya,” pungkasnya.
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage