Pembunuhan di Sekolah, Prancis Fokus pada Kesehatan Mental dan Keamanan
KLIKWARTAKU – Di Prancis, Sekitar pukul 08.15 pagi waktu setempat, seorang remaja laki-laki berusia 14 tahun dari keluarga biasa di Nogent, Prancis timur, mengeluarkan pisau dapur saat pemeriksaan tas sekolah dan menikam mati seorang asisten sekolah.
Insiden pembunuhan terjadi di Sekolah Menengah Françoise Dolto, Nogent, sekitar 100 km dari Paris. Pelaku, seorang siswa berusia 14 tahun bernama Quentin, menikam asisten sekolah berusia 31 tahun, Mélanie G, yang meninggalkan seorang anak laki-laki berusia 4 tahun.
Motifnya tampak sepele namun mengerikan: Quentin merasa kesal karena ditegur oleh staf sekolah karena mencium pacarnya. Ia memendam dendam pada seluruh staf sekolah dan berniat membunuh salah satu dari mereka saat sekolah dibuka kembali setelah libur hari nasional.
Jaksa menyebut Quentin berasal dari keluarga normal, tidak memiliki catatan kriminal atau gangguan mental. Namun, ia juga menunjukkan tanda-tanda keterasingan emosional, kecanduan gim video kekerasan, dan ketertarikan pada kematian.
Yang mengejutkan, Quentin sebelumnya dikenal sebagai siswa “duta anti-perundungan” dan cukup populer di lingkungan sekolah. Insiden ini mengguncang publik Prancis karena terjadi di bawah pengawasan ketat gendarmerie bersenjata, membuktikan bahwa kehadiran aparat pun tak selalu mampu mencegah tragedi.
Presiden Emmanuel Macron mengulangi rencananya untuk melarang media sosial bagi anak di bawah usia 15 tahun. Namun langkah ini diragukan efektivitasnya, terutama karena Quentin tidak terlalu aktif di media sosial. Ia lebih terpikat pada dunia gim video kekerasan.
Kebingungan, Perdebatan, dan Minimnya Solusi Konkret
Perdana Menteri François Bayrou menyatakan penjualan pisau untuk anak-anak di bawah 15 tahun akan dilarang, namun pisau yang digunakan Quentin diambil dari rumah. Ia juga mengusulkan uji coba detektor logam di sekolah, tetapi banyak kepala sekolah menolak karena kekhawatiran berlebihan dalam pendekatan keamanan.
Sementara sayap kanan populis menuntut hukuman lebih berat bagi remaja pembawa senjata tajam dan pengeluaran siswa bermasalah dari kelas regular, padahal Quentin bukan siswa yang bermasalah.
Satu-satunya konsensus yang muncul adalah perlunya peningkatan jumlah dokter, perawat, dan psikolog sekolah untuk mendeteksi sejak dini tanda-tanda gangguan mental siswa. Namun itu semua memerlukan biaya besar, yang kini sulit dipenuhi.
Dari Teror Menuju Harapan?
Kekhawatiran di Prancis berkembang bahwa jika anak dari keluarga biasa bisa melakukan hal seperti ini, siapa lagi yang akan menjadi pelaku selanjutnya? Insiden mengerikan ini menjadi pengingat keras bagi Eropa bahwa keamanan anak-anak di sekolah bukan sekadar soal kamera dan pagar, melainkan juga perhatian, bimbingan, dan kesehatan mental yang terjaga.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage