MUI Peringatkan Bahaya Ustaz Medsos Tanpa Sanad, Ini Alasannya
KLIKWARTAKU – Ketua MUI Bidang Infokom, KH Masduki Baidlowi, memperingatkan bahaya konten keislaman yang disampaikan oleh “ustaz media sosial” (ustaz medsos) tanpa sanad keilmuan. Menurutnya, fenomena ini berisiko menyesatkan umat dan membuka celah bagi penyebaran paham radikalisme di ruang digital.
“Konten agama digital yang tidak bersanad sangat rawan menyesatkan. Tanpa bimbingan keilmuan, orang bebas bicara agama sesuka hati sesuai hawa nafsu dan kepentingannya,” tegas Kiai Masduki.
Ia menyoroti banyaknya “influencer agama dadakan” yang viral di media sosial meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang mumpuni. Fenomena ini, menurutnya, turut menggeser otoritas ulama tradisional yang memiliki sanad keilmuan hingga Rasulullah SAW.
Kiai Masduki mengingatkan bahwa belajar agama secara otodidak melalui internet tanpa bimbingan guru berisiko tinggi. Generasi muda yang hanya mengandalkan Google atau YouTube, kata dia, sangat rentan terhadap tafsir sempit, teori konspirasi, hingga ideologi ekstrem.
“Tanpa sistem sanad untuk memverifikasi kebenaran ilmu, ruang digital menjadi celah masuk radikalisme,” ujarnya.
Ia merujuk survei PPIM UIN Jakarta tahun 2017 yang menunjukkan bahwa 50,9 persen pelajar dan mahasiswa memperoleh pengetahuan agama dari internet dan media sosial, lebih tinggi dari yang mengandalkan buku (48,6 persen). Akses ini terus meningkat seiring dengan penetrasi internet yang mencapai 79,5 persen populasi Indonesia pada awal 2024.
Meski demikian, Kiai Masduki mengakui ada dampak positif dari digitalisasi dakwah, antara lain akses cepat dan luas terhadap ilmu agama, dakwah dapat menjangkau daerah terpencil, konten dakwah yang lebih interaktif dan menarik generasi muda, dan terbentuknya komunitas Muslim lintas negara yang memperkuat solidaritas dan kolaborasi keagamaan.
“Media sosial memungkinkan siapa pun mengakses ceramah ulama secara daring, membaca tafsir, hingga ikut pengajian secara virtual,” katanya.
Namun, tantangan serius tetap ada. Berdasarkan riset PPIM UIN Jakarta (2009–2019), narasi konservatif mendominasi konten keagamaan di media sosial (67,2%), sementara narasi moderat hanya 22,2 persen.
“Konten konservatif lebih mudah viral dibanding konten moderat. Ini menjadikan suara Islam wasathiyah tenggelam,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa algoritma media sosial sering kali mempromosikan konten sensasional berbasis engagement. Akibatnya, materi provokatif lebih cepat tersebar dan mempersempit sudut pandang pengguna melalui filter bubble.
“Kelompok ekstremis bahkan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan paham radikal dan merekrut simpatisan,” kata Kiai Masduki.
Sepanjang 2024, pemerintah telah memblokir lebih dari 180.000 konten bermuatan radikalisme, intoleransi, dan terorisme di ranah digital. Mayoritas berasal dari propaganda kelompok ekstrem seperti ISIS dan HTI.
“Ini bukti luasnya ancaman terhadap pemahaman Islam moderat di dunia maya,” pungkasnya.
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage