Artefak Tulisan Kuno Menantang Mitos Tentang Afrika

KLIKWARTAKU – Sebuah kotak kayu berisi perlengkapan pemburu yang terukir dengan sistem tulisan kuno dari Zambia tengah menjadi sorotan di media sosial. “Kita tumbuh besar dengan anggapan bahwa orang Afrika tidak tahu cara membaca dan menulis,” kata Samba Yonga, salah satu pendiri Women’s History Museum of Zambia yang berbasis virtual.
“Tapi kenyataannya, kita memiliki cara sendiri dalam menulis dan menyampaikan pengetahuan, cara yang selama ini diabaikan dan disisihkan,” ujarnya lagi.
Artefak itu menjadi salah satu pemicu kampanye daring yang bertujuan menyoroti peran perempuan dalam masyarakat pra-kolonial, sekaligus menghidupkan kembali warisan budaya yang hampir lenyap akibat kolonialisme. Salah satu benda lain yang tak kalah menarik adalah jubah kulit dengan hiasan rumit yang tidak pernah terlihat di Zambia selama lebih dari 100 tahun.
“Benda-benda ini merepresentasikan sejarah yang penting dan sejarah yang sebagian besar tidak diketahui,” ujar Yonga. “Hubungan kita dengan warisan budaya kita telah terganggu dan dikaburkan oleh pengalaman kolonial. Yang juga mengejutkan adalah bagaimana peran perempuan telah dihapuskan secara sengaja,” sesalnya.
Namun kini, lanjut Yonga, ada kebangkitan, ada kebutuhan dan kerinduan untuk terhubung kembali dengan warisan budaya kita dan merebut kembali identitas kita, baik melalui mode, musik, atau studi akademis. “Kita punya bahasa sendiri tentang cinta, keindahan. Kita punya cara menjaga kesehatan dan lingkungan. Kita punya kemakmuran, persatuan, penghormatan, dan kecerdasan,” jelas Yonga.
Sebanyak 50 objek telah dipublikasikan di media sosial, dilengkapi dengan informasi mengenai makna dan fungsinya, bukti bahwa perempuan sering berada di pusat sistem kepercayaan dan pemahaman masyarakat terhadap alam.
Foto-foto artefak ditampilkan dalam bingkai, untuk menggambarkan bahwa sudut pandang dapat memengaruhi persepsi, sebagaimana kolonialisme Inggris mendistorsikan sejarah Zambia melalui pembungkaman sistematis terhadap pengetahuan dan praktik lokal.
Proyek yang dinamai Frame ini menggunakan media sosial untuk melawan anggapan keliru bahwa masyarakat Afrika tidak memiliki sistem pengetahuan sendiri. Benda-benda tersebut sebagian besar dikumpulkan selama era kolonial dan disimpan di museum-museum di seluruh dunia, termasuk di Swedia, tempat proyek ini bermula pada 2019.
Saat berkunjung ke Stockholm, Yonga bertemu Michael Barrett, kurator di National Museums of World Cultures Swedia, dan terkejut saat mengetahui bahwa museum tersebut memiliki banyak artefak dari Zambia. “Aku sangat terkejut, dan bertanya: ‘Bagaimana mungkin negara yang tidak pernah menjajah Zambia memiliki begitu banyak artefak dari Zambia?'” kata Yonga.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, penjelajah, etnografer, dan ahli botani Swedia menumpang kapal Inggris menuju Cape Town, lalu melanjutkan perjalanan darat ke pedalaman. Tercatat hampir 650 artefak budaya Zambia dalam koleksi museum Swedia itu, serta sekitar 300 foto sejarah.
Ketika Yonga dan rekannya Mulenga Kapwepwe mengeksplorasi arsip tersebut, mereka mendapati bahwa para pengumpul artefak Swedia pernah menjelajah wilayah-wilayah Zambia yang bahkan hingga kini masih sulit dijangkau.
Koleksi tersebut mencakup keranjang ikan dari alang-alang, topeng upacara, pot tanah liat, sabuk pinggang dari kulit kerang, hingga 20 jubah kulit dalam kondisi sangat baik yang dikumpulkan dalam ekspedisi tahun 1911-1912.
Jubah itu dibuat dari kulit antelop lechwe oleh pria Batwa, dan dikenakan atau digunakan perempuan untuk melindungi bayi dari cuaca. “Di bagian luar bulu terdapat pola geometris yang dibuat dengan sangat teliti, indah dan halus,” ungkap Yonga.
Ada juga foto-foto perempuan yang mengenakan jubah tersebut, serta buku catatan setebal 300 halaman karya etnografer Eric Van Rosen, sang pengumpul, yang juga menggambar desain jubah dan memotret perempuan dengan berbagai gaya pemakaian.
Museum di Swedia belum pernah melakukan penelitian tentang jubah itu dan Dewan Museum Nasional Zambia pun tidak mengetahui keberadaannya. Yonga dan Kapwepwe lalu mengunjungi komunitas di wilayah Bengweulu, timur laut Zambia, tempat asal jubah tersebut.
“Tidak ada yang mengingatnya,” kata Yonga. “Semua orang yang memiliki pengetahuan tentang cara membuat tekstil itu (jubah kulit tersebut) atau memahami sejarahnya, sudah tiada. Jadi artefak itu hanya ada dalam waktu yang beku, di museum Swedia,” bebernya.
Salah satu artefak favorit Yonga dalam proyek Frame adalah Sona atau Tusona, sistem tulisan kuno yang canggih namun kini jarang digunakan. Sona berasal dari suku Chokwe, Luchazi, dan Luvale, yang tinggal di perbatasan Angola, Republik Demokratik Kongo, dan wilayah barat laut Zambia tempat asal Yonga.
Pola geometrisnya dibuat di atas pasir, kain, atau tubuh manusia. Juga diukir pada furnitur, topeng kayu Makishi dalam upacara leluhur, serta kotak kayu untuk menyimpan peralatan berburu. Simbol-simbol itu mengandung prinsip matematika, kosmologi, pesan tentang alam dan lingkungan, serta pedoman kehidupan masyarakat.
Pemelihara dan pengajar awal Sona adalah Perempuan dan masih ada beberapa sesepuh yang memahami sistem ini. Mereka menjadi sumber penting dalam penelitian lanjutan Yonga, yang menguatkan riset dari para akademisi seperti Marcus Matthe dan Paulus Gerdes.
“Sona menjadi salah satu unggahan yang paling populer di media sosial—orang-orang sangat terkejut dan antusias, berkomentar: ‘Serius? Ini mungkin?'” ujar Yonga.
Salah satu unggahan Frame berjudul Queens in Code: Symbols of Women’s Power menampilkan foto seorang perempuan Tonga di Zambia selatan, sedang memegang batu penumbuk jagung. Saat tim dari Museum Sejarah Perempuan Zambia melakukan riset lapangan, mereka menemukan bahwa batu penumbuk itu lebih dari sekadar alat dapur.
Alat itu hanya dimiliki oleh perempuan yang menggunakannya tidak diwariskan kepada anak perempuannya. Sebaliknya, batu itu dikubur di makam sang pemilik sebagai simbol penghormatan atas kontribusinya dalam ketahanan pangan komunitas. “Apa yang tampak seperti batu penumbuk biasa ternyata simbol kekuatan perempuan,” kata Yonga.
Women’s History Museum of Zambia didirikan pada 2016 untuk mendokumentasikan sejarah perempuan dan pengetahuan lokal. Mereka kini meneliti komunitas-komunitas dan membangun arsip daring dari benda-benda yang telah keluar dari Zambia. “Kami mencoba menyusun puzzle tanpa semua potongan yang lengkap, kami sedang melakukan perburuan harta karun,” ungkapnya.
Sebuah pencarian yang telah mengubah hidup Yonga dan ia berharap proyek Frame di media sosial juga bisa menginspirasi banyak orang lain. “Memiliki pemahaman tentang komunitasku dan konteks sejarah, politik, sosial, emosional tentang siapa diriku, telah mengubah caraku berinteraksi dengan dunia,” pungkasnya.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage