klikwartaku.com
Beranda Nasional Pasal Pengangkatan Kapolri Diuji ke MK, Pemohon Soroti Ketidakjelasan Persetujuan DPR

Pasal Pengangkatan Kapolri Diuji ke MK, Pemohon Soroti Ketidakjelasan Persetujuan DPR

Hakim Mahkamah Konstitusi

KLIKWARTAKU – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi terhadap Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) oleh Presiden dengan persetujuan DPR itu dipersoalkan oleh seorang warga negara, Windu Wijaya.

Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 167/PUU-XXIII/2025 digelar Kamis 25 September 2025 di Gedung MK, Jakarta, dipimpin Ketua MK Suhartoyo.

Dalam permohonannya, Windu melalui kuasa hukum Ardin Firanata menilai frasa dengan persetujuan DPR dalam Pasal 11 ayat (1) UU Polri tidak memiliki batasan hukum yang jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurutnya, ketentuan tersebut membuka ruang penggunaan persetujuan DPR sebagai alat politik, yang dapat menghambat hak prerogatif Presiden.

“Frasa ‘persetujuan DPR’ tidak dijelaskan apakah bersifat administratif untuk memastikan syarat terpenuhi, atau bisa digunakan sebagai penolakan politis. Ini menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan,” ujar Ardin di hadapan majelis hakim.

Pemohon juga menilai tidak adanya kejelasan mengenai parameter atau alasan hukum yang mendasari DPR dalam menyetujui atau menolak calon Kapolri. Selain itu, norma ini dinilai tidak mengatur secara rinci syarat minimum calon Kapolri, mekanisme seleksi jika ada lebih dari satu calon, dan prosedur jika calon ditolak.

Atas dasar itu, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa persetujuan DPR dalam Pasal 11 ayat (1) tetap konstitusional sepanjang dimaknai sebagai persetujuan yang berdasarkan syarat objektif, seperti terpenuhinya syarat kepangkatan, integritas, kesehatan jasmani dan rohani, serta rekam jejak hukum dan etik yang bersih.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic menyebut Pemohon belum menunjukkan kerugian konstitusional yang nyata dan spesifik. Ia menilai, kedudukan Pemohon sebagai advokat perlu dijelaskan lebih rinci keterkaitannya dengan norma yang diuji.

“Kalau hanya sebagai advokat, perlu dielaborasi bagaimana norma ini secara langsung merugikan hak konstitusional Pemohon,” kata Daniel.

Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyoroti inkonsistensi antara argumentasi dan petitum permohonan.

“Kalau Saudara menyatakan norma ini tetap konstitusional, maka tidak ada kerugian yang nyata. Ini seperti meminta fatwa, dan itu bukan kewenangan MK,” tegas Guntur.

Ketua MK Suhartoyo juga memberikan catatan agar Pemohon menjelaskan secara konkret kerugian konstitusional yang dialami, bukan semata-mata sebagai warga negara, melainkan dalam kapasitas profesional yang berkaitan langsung dengan keberadaan Kapolri.

Mahkamah memberi waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan, dengan tenggat penyerahan naskah perbaikan paling lambat Rabu, 8 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.

Kunjungi Medsos Klikwartaku.com

Klik di sini
Bagikan:

Iklan