Reformasi Politik Tak Boleh Ditunda, Awal 2026 Jadi Momentum Krusial
KLIKWARTAKU – Pengamat politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menegaskan bahwa reformasi partai politik dan sistem pemilu tidak boleh ditunda hingga menjelang Pemilu 2029. Menurutnya, tahun 2026 setahun setelah Pemilu 2024 adalah momentum paling tepat untuk memulai revisi paket undang-undang politik secara bertahap.
“Awal 2026 menjadi momentum yang sangat baik untuk mulai melakukan perubahan secara perlahan namun terarah,” ujar Umam, Senin 22 September 2025.
Umam menekankan bahwa demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedur formal semata. Ia menyoroti pentingnya demokrasi yang mampu memberikan dampak konkret bagi masyarakat, terutama dalam hal pelayanan publik dan kebijakan negara.
“Pesan moral dari berbagai gerakan sosial belakangan ini jelas: demokrasi harus memberi dampak nyata, bukan sekadar menjadi narasi utopis,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa kerapuhan demokrasi bisa terjadi jika rakyat tidak merasakan manfaat langsung dari sistem yang ada. Hal ini menurutnya terlihat dari pengalaman berbagai negara seperti Nepal, Filipina, Timor Leste, Argentina, hingga Prancis.
Umam juga mengkritik praktik autokrasi legal, yakni penggunaan perangkat hukum untuk mengukuhkan kekuasaan secara sepihak. Contoh nyata dari praktik ini, ujarnya, pernah terlihat dalam pembahasan UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK.
“Kita tidak ingin itu terjadi lagi. Karena itu, partisipasi bermakna (meaningful participation) dan keterlibatan masyarakat sipil mutlak diperlukan,” katanya.
Kepastian hukum menjadi salah satu sorotan utama Umam dalam konteks reformasi pemilu. Ia menekankan bahwa regulasi pemilu dan desain sistem pemilihan harus ditetapkan sejak awal, bukan menjelang pelaksanaan.
“Kita harus menghindari kejutan aturan di menit-menit akhir seperti yang terjadi menjelang Pemilu 2024 dari syarat pencalonan presiden-wakil presiden hingga aturan pilkada,” tambahnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya tindak lanjut terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2024 tentang pemisahan rezim pemilu nasional dan daerah. DPR, kata Umam, tidak boleh menunda pembahasan hingga mendekati pemilu berikutnya.
Umam mencatat tiga isu krusial dalam penyelenggaraan pemilu yang harus segera dibenahi yaitu netralitas TNI-Polri yang harus dijaga ketat agar tidak menjadi alat kekuasaan, politik uang yang semakin terbuka namun minim sanksi, serta potensi kecurangan elektoral, termasuk manipulasi data pemilih dan intervensi hasil suara.
“Praktik politik uang terjadi secara nyata di depan mata, tapi mekanisme pengawasan dan sanksinya hampir tidak ada. Semua permisif,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Umam menyoroti tantangan dari sistem desentralisasi yang telah berjalan lebih dari dua dekade. Ia menyebut hanya sekitar 30 persen daerah yang mampu mandiri secara fiskal, sementara sisanya masih bergantung pada transfer dana dari pusat.
“Fenomena ‘korupsi desentralisasi’ kini terjadi di mana-mana. Kalau dulu hanya ada satu Soeharto, sekarang Soeharto ada di mana-mana—dalam bentuk kekuasaan kecil di daerah,” ujar Umam.
Umam mengajak semua elemen bangsa untuk mengawal reformasi sistem politik dan pemilu sejak dini, bukan di ujung masa persiapan pemilu.
“Ini adalah wake-up call bagi kita semua. Jangan tunggu sampai 2027 atau 2028. Penataan sistem politik dan pemilu harus dimulai sekarang agar kekuasaan yang lahir kelak benar-benar akuntabel, transparan, dan membawa dampak nyata bagi masyarakat,” pungkasnya.***
Kunjungi Medsos Klikwartaku.com
Klik di sini