Energi Bangsa Menyisakan Dugaan Ijazah Palsu Jokowi
KLIKWARTA – Kasus hukum Hasto dan Tom Lembong baru saja tamat. Segala analisis ini dan itu, tak lagi berarti. Keduanya segera bebas. Kasus itu sangat menguras energi bangsa secara nasional. Sekarang, menyisakan satu lagi, dugaan ijazah palsu Jokowi. Entah sampai kapan akan berakhir. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula agar otak selalu encer dan waras.
Di tengah gemuruh zaman, saat angin panas dari Laut Jawa bertabrakan dengan gelombang retorika dari Senayan, bangsa ini seolah mulai menemukan titik tenangnya. Satu per satu badai reda. Hasto, Tom Lembong, yang pernah menghantui pemberitaan nasional seperti serial horor tanpa ending, kini sudah dipeluk hangat oleh amnesti dan abolisi. Presiden seperti Gandalf dari tanah Jawa, berdiri di tengah jembatan publik lalu berteriak, “You shall not pass!” kepada semua energi negatif.
Dan, berhasil.
Kita bersorak. Kita lega. Kita istighfar. Ruang publik yang semula pengap kembali bernafas. Twitter agak sepi. Grup WA emak-emak mulai kembali membahas resep donat kentang. Sejenak, kita kira badai sudah benar-benar berlalu.
Tapi, seperti dalam epik Mahabharata, selalu ada satu kutukan yang tak bisa disingkirkan. Satu pusaran gelap yang tak bisa dibendung. Satu sumbu api yang menyala di atas tumpukan jerami nalar bangsa.
Ijazah mantan Presiden.
Dugaan palsu. Teriakan demi teriakan. Bukti demi bukti. Roy Suryo, dr. Tifa, dan Rismon, tiga pendekar abadi dari klan Anti-Kertas Formalitas, terus menebar seruan. Mereka bukan hanya sekadar kritikus. Mereka adalah arkeolog modern yang menggali lembaran sejarah, mencari fosil pendidikan di antara tumpukan arsip. Bagi mereka, ijazah itu bukan simbol. Ia adalah jantung dari Republik. Jika jantung itu palsu, maka seluruh tubuh bangsa ini terancam stroke permanen.
Tapi apakah rakyat masih punya daya untuk memperdebatkan selembar ijazah?
Bangsa ini sudah terlalu lelah. Energi bangsa, yang seharusnya menggerakkan turbin peradaban, membangun jembatan impian, menyalakan obor keadaban, terserap habis dalam pertarungan wacana. Hanya demi satu lembar kertas. Sebuah artefak. Relik suci. Holy Grail dari dunia akademik.
Padahal kita tahu, selembar ijazah bukan jaminan kecerdasan. Banyak yang punya gelar berderet, tapi tak mampu membedakan idealisme dan idiolalisme. Tapi entah kenapa, ijazah satu ini, khusus ijazah itu saja, memiliki semacam kekuatan kosmis. Ia menyihir logika, memecah belah kubu, menguras tenaga nasional setara satu bendungan Jatigede.
Kalau dikalkulasi dalam satuan energi, perdebatan ini setara dengan meledaknya 9.000 ton amonium nitrat dalam bentuk obrolan warung kopi. Setiap kali Roy Suryo membuka mulut, satu panel surya langsung mati. Setiap kali dr. Tifa membuka ruang diskusi, 20 MW hilang dari sistem ketahanan energi nasional. Dan Rismon? Cukup sekali dia menyebut kata “forensik ijazah”, langsung 300 kWh terhisap dari jantung PLN.
Kita tidak sedang membahas energi terbarukan. Kita sedang menyaksikan energi terbuang-kan.
Seharusnya, bangsa ini bisa menggunakan daya nalar kolektifnya untuk hal besar, merumuskan keadilan sosial, mengejar ketertinggalan riset, menurunkan angka stunting, atau paling tidak, mengganti kata sambutan yang isinya selalu “puji syukur dan mari kita lanjutkan program”. Tapi apa daya, kita masih terjebak dalam drama Shakespeare edisi Indonesia, Much Ado About Ijazah.
Tanya pada angin yang lewat di Tugu Pancoran. Tanya pada neon di Gedung MK yang makin redup. Sampai kapan bangsa ini menyandera pikirannya hanya untuk menjawab, “Asli atau palsu?”
Mungkin suatu saat nanti, para filsuf masa depan akan menggali reruntuhan negeri ini dan menulis di prasasti, “Bangsa besar yang pernah hidup, mati pelan-pelan karena tak bisa move on dari selembar ijazah.”
Pada saat itulah, energi nasional kita tinggal mitos. Karena seluruh daya telah habis… untuk mencari kebenaran dari sepotong kertas yang tak bisa bicara.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage