Trump Dukung Perdamaian Kongo-Rwanda demi Akses Tambang Mineral Strategis
KLIKWARTAKU — Presiden Amerika Serikat Donald Trump memimpin inisiatif perdamaian ambisius antara Republik Demokratik Kongo (DRC) dan Rwanda, yang bertujuan mengakhiri konflik puluhan tahun di wilayah timur Kongo.
Namun, di balik upaya diplomatik tersebut, terselip agenda besar Washington: mengamankan akses terhadap mineral bernilai triliunan dolar yang sangat penting bagi industri teknologi dan pertahanan AS.
Menurut data Departemen Luar Negeri AS, DRC memiliki cadangan mineral senilai lebih dari US$25 triliun, termasuk kobalt, tembaga, litium, mangan, dan tantalum — bahan baku penting untuk mobil listrik, perangkat AI, ponsel pintar, hingga sistem persenjataan canggih.
“Kami memperoleh banyak hak tambang dari Kongo sebagai bagian dari kesepakatan ini,” ujar Trump setelah penandatanganan kesepakatan damai awal pada 27 Juni di Washington.
Kesepakatan Damai Bernilai Ekonomi Tinggi
Trump dijadwalkan menjadi tuan rumah pertemuan antara Presiden Kongo Félix Tshisekedi dan Presiden Rwanda Paul Kagame dalam beberapa minggu ke depan, guna menyempurnakan perjanjian damai yang disebut sebagai ‘triumph of peace and prosperity’ oleh Gedung Putih.
Kesepakatan ini mencakup mekanisme koordinasi keamanan dan integrasi ekonomi regional, dengan tujuan menghentikan jalur penyelundupan mineral oleh kelompok pemberontak M23 yang diduga didukung Rwanda.
“Ini adalah model baru perdamaian berbasis komersial,” kata Prof. Alex de Waal dari World Peace Foundation. “Trump ingin dapatkan pujian politik, sambil mengamankan pasokan mineral untuk negaranya.”
Kekhawatiran Soal Kedaulatan dan Eksploitasi
Namun, para pengamat memperingatkan bahwa kesepakatan ini berpotensi mengorbankan kedaulatan Kongo atas sumber dayanya.
“Apakah Kongo harus menyerahkan kobaltnya ke investor AS selama 20 tahun? Atau 50 tahun? Apa harga sebenarnya dari sebuah perdamaian?” tanya Prof. Hanri Mostert, pakar hukum mineral dari Universitas Cape Town.
Ia menyamakan pendekatan AS ini dengan model barter sumber daya yang selama ini dijalankan oleh China dan Rusia di Afrika.
Dinamika Diplomasi Ganda: AS dan Qatar
Selain AS, negara Teluk seperti Qatar juga ikut menengahi, dengan fokus pada konflik domestik antara pemerintah Kongo dan pemberontak M23, yang kini menguasai wilayah Goma.
Qatar diketahui memiliki investasi besar di Rwanda, termasuk pembangunan bandara internasional dan kepemilikan saham maskapai nasional. Hal ini memunculkan potensi konflik kepentingan jika kedua proses diplomasi tidak selaras.
“Jika kesepakatan damai hanya mencakup pemerintah Kongo dan Rwanda, tetapi M23 terus melancarkan serangan, maka perdamaian takkan tercapai,” kata Prof. Jason Stearns, pakar politik Afrika.
Tantangan Ke Depan: Penarikan Pasukan dan Pengakuan Wilayah
Meski perjanjian mengatur dimulainya gencatan senjata dan koordinasi keamanan dalam 30 hari, M23 menolak menyerahkan wilayah yang telah dikuasainya, meskipun menyetujui keberadaan otoritas negara di sana.
Sementara itu, Rwanda bersikukuh hanya akan menarik pasukannya jika milisi FDLR (keturunan pelaku genosida 1994) dinetralkan, sebuah tuntutan yang telah gagal dilakukan selama tiga dekade.
“Jalan menuju perdamaian masih panjang,” ujar Onesphore Sematumba dari International Crisis Group. “Tantangan terbesarnya adalah mengubah naskah kesepakatan menjadi kenyataan di lapangan.”
Perdamaian atau Perdagangan Bertopeng Diplomasi?
Meski banyak pihak menyambut inisiatif damai ini, kekhawatiran terhadap eksploitasi sumber daya dan tekanan geopolitik tetap menghantui. Para analis menekankan bahwa perdamaian sejati hanya bisa dicapai melalui transformasi menyeluruh yang melibatkan suara masyarakat lokal, bukan hanya elit dan investor asing.
“Membangun perdamaian artinya menyembuhkan luka sejarah, bukan sekadar menukar keamanan dengan konsesi tambang,” pungkas Prof. Mostert.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage