klikwartaku.com
Beranda Lifestyle Guru Honorer, Pahlawan yang Terlalu Sabar

Guru Honorer, Pahlawan yang Terlalu Sabar

Foto Guru Honorer yang Penuh Kesabaran

KLIKWARTAKU – Di balik tembok-tembok sekolah yang sederhana, di ruang-ruang kelas yang mungkin tanpa AC, di tengah keterbatasan sarana dan prasarana, ada sosok yang setiap harinya berdiri tegak di depan papan tulis dengan sepotong kapur dan secarik harapan: guru honorer.

Mereka adalah pahlawan yang seringkali tidak tampak. Bukan karena mereka tidak berjasa, tetapi karena negara terlalu sibuk memuji dalam pidato, tanpa benar-benar memberi tempat layak dalam kenyataan.

Mengabdi Tanpa Kepastian

Sudah jadi rahasia umum bahwa guru honorer kerap menerima gaji yang jauh dari layak. Ada yang dibayar Rp300 ribu per bulan, ada yang Rp500 ribu. Itu pun kadang tidak rutin. Bayangkan, angka itu bahkan tidak cukup untuk membayar kos dan makan sehari-hari, apalagi untuk hidup dengan martabat sebagai seorang pendidik.

Namun, mereka tetap datang ke sekolah setiap pagi. Dengan baju yang disetrika rapi dan semangat yang tidak pernah padam. Mereka mengajar anak-anak dengan sabar, membimbing, mendidik, bahkan menjadi orang tua kedua saat siswa-siswinya merasa terabaikan di rumah.

Sabar. Itu kata kunci yang melekat dalam kehidupan guru honorer. Terlalu sabar, bahkan, untuk sebuah pengabdian yang tak kunjung mendapatkan kepastian status dan kesejahteraan.

Ironi Sertifikasi dan PPPK

Berbagai skema sempat digadang-gadang menjadi solusi. Dari sertifikasi, sampai rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Tapi kenyataannya, tak sedikit guru honorer yang justru tersisih karena sistem yang rumit dan tidak merata.

Ada guru honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi, namun tersingkir karena persoalan usia. Ada pula yang gagal hanya karena tidak kuat bersaing dengan guru-guru muda yang baru lulus, tetapi lebih melek teknologi. Di sini, pengalaman seperti tak punya nilai.

Sungguh ironis, mereka yang sudah lama mengabdi justru kalah oleh sistem yang hanya mengenal angka dan dokumen.

Bukan Sekadar Mengajar

Jangan salah. Menjadi guru honorer bukan hanya soal berdiri dan mengajar di kelas. Mereka juga sering menjadi pengganti guru PNS yang absen, tanpa tambahan insentif. Mereka mengurusi administrasi, mengikuti pelatihan, bahkan ikut gotong royong membersihkan sekolah. Semuanya dilakukan demi satu hal: kecintaan pada dunia pendidikan.

Bagi mereka, anak-anak adalah masa depan. Sekalipun hidupnya sendiri tak pasti, mereka tidak ingin muridnya mengalami nasib yang sama.

Panggilan Jiwa yang Dikhianati Negara

Menjadi guru seharusnya adalah panggilan jiwa yang dimuliakan. Tapi dalam realitas yang menyakitkan, panggilan ini justru kerap dikhianati. Negara hadir dalam bentuk kurikulum dan kebijakan, tapi absen dalam urusan perut dan masa depan para pendidik.

Apakah kita lupa bahwa kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas hidup guru? Bagaimana kita bisa berharap lahirnya generasi emas jika guru-guru kita terus dibiarkan miskin dan tak berdaya?

Saatnya Kita Bicara

Opini ini bukan untuk menyudutkan siapa-siapa. Ini adalah seruan moral bahwa sudah saatnya suara guru honorer didengar lebih nyaring. Mereka bukan sekadar tenaga cadangan. Mereka adalah fondasi utama pendidikan di pelosok negeri.

Bila negara terus abai, maka sejatinya kita sedang membiarkan anak-anak bangsa dididik oleh sistem yang melupakan kemanusiaan. Dan itu adalah pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.

Guru honorer adalah pahlawan yang terlalu sabar. Tapi sampai kapan kesabaran itu harus diuji?

Mereka tak meminta diberi pujian atau pangkat. Yang mereka minta hanyalah pengakuan dan kepastian: bahwa jerih payah mereka layak dihargai, bahwa pengabdian mereka bukan sekadar pelengkap sistem, dan bahwa profesi guru adalah kehormatan yang seharusnya tidak diseret dalam jurang kemiskinan.

Karena negeri ini, tanpa guru, tak akan punya masa depan.

 

KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat

Homepage
Bagikan:

Iklan