Bisnis Ginjal India-Bangladesh: Ketika Nyawa Jadi Komoditas dan Hukum Hanya Formalitas
KLIKWARTAKU – Di balik dinding kaca rumah sakit megah dan ruang operasi berlampu putih, sebuah jaringan perdagangan organ terus hidup dan berkembang. Di antara celah hukum dan sistem pengawasan yang lemah, transplantasi ginjal ilegal telah menjadi industri menggiurkan yang menyatukan kemiskinan ekstrem di Bangladesh dan lonjakan permintaan medis di India.
“Lebih banyak transplantasi berarti lebih banyak pendapatan,” kata seorang pejabat senior transplantasi India dan itulah jantung dari permasalahan ini.
Ginjal Dijual, Identitas Dipalsukan
India sebetulnya memiliki sistem hukum yang jelas. Undang-Undang Transplantasi Organ Manusia (THOA) 1994 hanya mengizinkan donasi antara kerabat dekat. Namun dalam praktiknya, sistem ini dengan mudah disiasati.
Para calo dan pialang menciptakan silsilah palsu antara donor miskin dan pasien kaya. Sertifikat notaris, KTP, bahkan hasil tes DNA bisa dimanipulasi dengan cepat dan murah. Semua demi meyakinkan komite otorisasi transplantasi bahwa donasi tersebut “altruistik” dan bukan karena tekanan ekonomi.
“Dokumen itu tampak sah. Dan rumah sakit menerima begitu saja. Karena di balik semua itu, ada bisnis besar,” ujar Monir Moniruzzaman, anggota gugus tugas transplantasi WHO.
Pasien Kaya, Dokter Diam, Broker Kaya
Menurut pengakuan Mizanur Rahman, seorang pialang aktif di Bangladesh, para calo rutin menyuap anggota dewan medis rumah sakit atau langsung bekerja sama dengan dokter yang berjaringan. “Sebagian besar uang transplantasi justru jatuh ke tangan dokter dan pialang,” katanya.
Tarif satu ginjal bisa mencapai $22.000 hingga $26.000 (Rp350–420 juta), namun pendonor hanya menerima $2.500–4.000. Sisanya mengalir ke banyak pihak yakni broker, pemalsu dokumen, hingga oknum dokter.
Sementara itu, rumah sakit berlindung di balik formalitas dokumen. Jika semua terlihat legal di atas kertas, tak ada yang dipertanyakan.
“Kalau ditolak, pasien kaya akan membawa ke pengadilan. Rumah sakit tak mau repot hukum,” ujar seorang mantan pejabat tinggi Organisasi Transplantasi Organ dan Jaringan Nasional (NOTTO) India.
Transplantasi Berpindah, Tapi Jaringannya Tetap
Ketika aparat mulai menyelidiki satu rumah sakit, operasi berpindah ke rumah sakit lain, kota lain. Menurut Moniruzzaman, “tidak ada rumah sakit tetap. Ini industri keliling.”
Di Bangladesh, Kementerian Luar Negeri menyangkal keterlibatan dalam pemalsuan dokumen. Tapi di lapangan, visa medis dikeluarkan, pasien berangkat, dan ginjal menghilang. Tidak ada pertukaran data resmi antara India dan Bangladesh soal pencegahan jaringan ginjal lintas batas.
Menjual Ginjal karena Diiming-Imingi Pekerjaan
Lebih tragis, banyak korban bahkan tidak tahu mereka akan menjual organ. Para calo menyamar sebagai agen tenaga kerja, menjanjikan pekerjaan di India. Namun sesampainya di sana, mereka dipaksa atau dibujuk untuk menyumbangkan ginjal.
Seperti yang terjadi tahun lalu: polisi Bangladesh menangkap tiga calo yang menyelundupkan 10 warga ke New Delhi. Janji kerja berubah menjadi operasi ilegal. Mereka kembali ke tanah air tanpa pekerjaan dan tanpa satu ginjal.
Dibungkam oleh Hukum yang Harusnya Melindungi
Ironisnya, hukum India yang awalnya dibuat untuk mencegah eksploitasi justru memicu pertumbuhan pasar gelap. Proses birokratis dan waktu tunggu yang panjang mendorong pasien untuk mencari jalan pintas.
“Pasien putus asa mencari solusi cepat. Sistem ini memberi mereka pilihan, meski pilihan itu menjadikan orang lain korban,” kata Vasundhara Raghavan, CEO Kidney Warriors Foundation.
Ia menyarankan pendekatan baru: pendonor harus mendapatkan perawatan pascaoperasi, dukungan finansial jangka panjang, dan perlindungan hukum.
Safiruddin: Dari Harapan ke Pengkhianatan
Kembali ke desa Baiguni di Upazila Kalai, Bangladesh, yang kini dikenal sebagai “desa satu ginjal”. Safiruddin, 45 tahun, duduk lemah di rumah bata yang belum selesai dibangun. Tahun lalu, ia menjual ginjalnya seharga 3,5 lakh taka (setara Rp67 juta) ke rumah sakit di India.
Ginjalnya telah dijual. Uang telah habis. Anak-anaknya tetap miskin. Dan ia kini hidup dengan tubuh setengah sehat dan hati penuh kecewa. “Mereka mengambil ginjal saya, lalu menghilang,” katanya pelan. “Yang tersisa hanya rasa sakit,” ungkapnya penuh rasa sesal.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage