“Desa Satu Ginjal”: Ketika Kemiskinan Diperdagangkan dan Tubuh Dijual Demi Bertahan Hidup
KLIKWARTAKU – Di sudut desa yang nyaris tak dikenal di peta dunia, ratusan tubuh manusia hidup hanya dengan satu ginjal. Mereka bukan korban bencana alam atau wabah penyakit, melainkan korban perdagangan organ yang berlangsung rapi, sistematis, dan lintas negara.
Selamat datang di Baiguni, wilayah miskin di Upazila Kalai, Bangladesh, yang kini dikenal sebagai “desa satu ginjal” – simbol nyata betapa mahalnya harga keputusasaan.
Ketika Hidup Ditebus dengan Organ
Safiruddin, 45 tahun, duduk memegangi sisi tubuhnya yang terasa nyeri di bawah sengatan matahari. Tahun lalu, ia menjual ginjalnya seharga 3,5 lakh taka (setara Rp67 juta) ke rumah sakit di India. Uang itu telah habis, rumah yang ingin dibangun untuk keluarganya belum selesai, dan tubuhnya terus melemah.
“Saya hanya ingin anak-anak saya hidup lebih baik. Tapi nyatanya… saya kehilangan segalanya,” katanya lirih.
Perdagangan yang Disamarkan, Identitas yang Dihapus
Para calo datang dengan janji manis: uang tunai, pengurusan visa medis, akomodasi, dan semua keperluan rumah sakit. Tapi itu hanya awal dari skenario gelap yang telah dirancang.
Sesampainya di India, Safiruddin diberikan identitas palsu yang mengklaim bahwa ia adalah kerabat dari pasien penerima ginjal. Dokumen resmi pun dipalsukan (termasuk tes DNA dan silsilah keluarga) agar transplantasi terlihat legal di mata hukum India.
Ia bahkan tidak tahu siapa yang menerima ginjalnya. “Saya tidak pernah diberi tahu. Mereka hanya mengambil organ saya dan membiarkan saya pergi… tanpa obat, tanpa paspor,” katanya.
Desa dengan Ribuan Cerita Serupa
Baiguni bukan satu-satunya. Di seluruh Upazila Kalai, satu dari setiap 35 orang dewasa telah menjual ginjalnya, menurut studi British Medical Journal Global Health.
83 persen pelaku menyebut kemiskinan sebagai alasan utama. Selebihnya karena utang, kecanduan, atau terjebak lingkaran judi.
Josna Begum, seorang janda berusia 45 tahun, dibujuk untuk menjual ginjalnya demi memberi masa depan bagi dua putrinya. Setelah operasi, ia hanya menerima separuh dari jumlah yang dijanjikan. Sang suami meninggalkannya. Kini ia hidup dengan penyakit kronis dan tak sanggup membeli obat.
“Hidup saya hancur. Saya tak bisa bekerja berat lagi, tapi saya harus bertahan,” ujarnya.
Dari Korban Menjadi Bagian dari Jaringan
Mohammad Sajal (nama samaran), dulunya seorang pebisnis, kehilangan segalanya saat platform e-commerce tempatnya berjualan bangkrut. Ia menjual ginjalnya di Delhi. Setelah ditipu, ia malah bergabung dalam jaringan calo demi mendapatkan kembali uangnya.
Ia menjadi bagian dari sistem yang ia benci—membantu menyelundupkan sesama warga Bangladesh ke rumah sakit India untuk transplantasi ilegal.
“Saya tahu itu salah. Tapi saat itu, itu satu-satunya cara saya bisa bertahan,” ungkapnya. “Sekarang saya buron dari jaringan ini. Mereka memburu saya.”
Sistem Gelap yang Terorganisasi
Perdagangan ginjal ini tidak sekadar operasi gelap oleh segelintir calo. Ini adalah jaringan lintas batas yang melibatkan rumah sakit, dokter, birokrasi, dan aparat korup. Dokumen dipalsukan, identitas disamarkan, bukti dihapus, dan korban dilupakan.
Banyak rumah sakit swasta di India menjadi pusat dari praktik ini. Salah satunya adalah Rabindranath Tagore Institute of Cardiac Sciences di Kolkata, dan Venkateshwar Hospital di Delhi, yang disebut-sebut sebagai lokasi transplantasi oleh para korban. Hingga kini, kedua institusi belum memberikan komentar resmi atas tuduhan tersebut.
Hukum Tak Berkutik, Turisme Medis Jadi Tameng
Penegakan hukum, baik di India maupun Bangladesh, ibarat pisau tumpul. Meskipun ada beberapa penangkapan (termasuk Dr. Vijaya Rajakumari, ahli bedah transplantasi yang dituding melakukan 15 operasi illegal) jumlahnya terlalu kecil untuk menghentikan laju perdagangan ini.
“India menghadapi dilema: menegakkan hukum atau memajukan industri wisata medis yang bernilai $7,6 miliar,” kata Prof. Monir Moniruzzaman dari WHO.
Polisi Bergerak, Tapi Apakah Cukup?
Pihak kepolisian Bangladesh kini mengklaim telah mengirim penyidik menyamar untuk membongkar jaringan perdagangan ginjal. Beberapa calo sudah ditangkap, tapi akar masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar pelaku lapangan.
“Kami serius menangani ini. Jaringan ini luas, dan kami berusaha menjangkaunya,” kata Asisten Inspektur Jenderal Enamul Haque Sagor.
Tubuh yang Dijual, Hidup yang Hilang
Di tengah semua ini, yang tersisa hanyalah tubuh-tubuh dengan satu ginjal, paspor yang hilang, dan hidup yang tak kunjung membaik. “Tak ada orang yang rela menjual ginjal karena keinginan,” ujar Sajal. “Ini soal bertahan hidup. Ini soal kemiskinan.”
Di Baiguni dan desa-desa sekitarnya, organ tubuh telah menjadi komoditas. Perdagangan yang dilakukan dengan licin, tanpa jejak, dan sering kali—tanpa harapan.***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage