50 Tahun Luka Lama: Ketika 8 Juta Pria Dipaksa Disterilisasi, Sebuah Desa di India Masih Mengingatnya
KLIKWARTAKU – Pada malam yang sunyi di bulan November 1976, ketika hawa dingin menusuk kulit dan ketakutan menggantung di udara, Mohammad Deenu tidak lari. Sementara tetangga-tetangganya memilih bersembunyi di balik hutan, melompat ke sumur, atau mengungsi ke desa lain, Deenu tetap tinggal. “Kalau semua orang kabur, siapa yang akan menyelamatkan desa ini?” kenangnya kini, nyaris 50 tahun kemudian.
Desa Uttawar, di negara bagian Haryana yang mayoritas Muslim, adalah salah satu dari banyak komunitas yang menjadi sasaran kebijakan kontroversial dan kejam Pemerintah India kala itu: sterilisasi paksa dalam rangka pengendalian penduduk. Kebijakan itu dilancarkan di tengah pemberlakuan keadaan darurat nasional, momen paling kelam dalam sejarah demokrasi India, ketika Perdana Menteri Indira Gandhi menangguhkan hak-hak sipil dan menghapus batasan terhadap kekuasaan negara.
Sterilisasi atau Dihukum
Program ini bukan kampanye sukarela. Para pejabat diberi kuota. Siapa yang tak memenuhi, gajinya dipotong atau dipecat. Desa yang menolak, diputus pasokan airnya. Dan bila rakyat tetap melawan, polisi (bersenjata dan tanpa ampun) akan datang.
Dengan dukungan dana dari Bank Dunia dan pemerintah Amerika Serikat, lebih dari 8 juta pria dipaksa menjalani vasektomi. Hanya pada tahun 1976, sebanyak 6 juta pria menjadi korban. Hampir 2.000 tewas akibat operasi yang ceroboh.
Uttawar tak luput dari gelombang ini. Suatu malam, pasukan keamanan mengelilingi desa. Para pria dikumpulkan di lapangan. Deenu dan 14 orang lainnya dibawa dalam kendaraan polisi, menuju kamp sterilisasi yang kumuh di kota Palwal.
“Kami dikorbankan agar desa ini selamat,” ujar Deenu, kini berusia akhir 90-an. “Lihatlah sekarang – anak-anak berlarian, hidup terus berjalan. Tapi kami yang bayar harganya.”
Teror, Trauma, dan Tabu
Bagi Mohammad Noor, yang kala itu baru berusia 13 tahun, malam itu adalah awal dari mimpi buruk panjang. Polisi mendobrak rumahnya, mengobrak-abrik isi rumah, mencampur pasir ke dalam persediaan tepung. “Kami tak bisa memasak selama empat hari. Rumah kami seperti ladang perang.”
Noor lolos dari operasi karena usianya masih terlalu muda, tapi trauma yang membekas tak pernah hilang. “Uttawar berubah seperti kuburan. Orang-orang hilang berminggu-minggu, beberapa tak pernah kembali.”
Stigma juga mengintai. Dalam tahun-tahun berikutnya, pria-pria Uttawar dijauhi. Pernikahan dibatalkan. Pertunangan diputus. “Sterilisasi menjadi kutukan yang membayangi desa ini tiap malam,” ujar Kasim, seorang pekerja sosial setempat. Banyak pria tak pernah pulih, hidup dalam kecemasan dan isolasi sosial hingga akhir hayat.
Keberanian yang Dilupakan, Warisan yang Abadi
Cerita heroik Abdul Rehman, kepala desa saat itu, masih menjadi legenda lokal. Ketika pejabat datang dan meminta “beberapa nama”, Rehman menolak keras. “Saya takkan serahkan bahkan seekor anjing pun dari desa saya,” katanya seperti dikisahkan turun-temurun. Tapi bahkan keberanian Rehman tak mampu menghentikan apa yang sudah dirancang dari atas.
Dari Indira ke Modi: Apakah Demokrasi India Belajar?
Kini, lima dekade berlalu, dan India kembali menatap bayang-bayang otoritarianisme. Para pengkritik menyebut masa pemerintahan Narendra Modi sebagai cerminan baru dari era darurat Indira Gandhi – dengan sensor media, pembungkaman oposisi, dan penggunaan hukum sebagai alat intimidasi.
“Jika keadaan darurat melegalkan penindasan, maka India hari ini membuatnya jadi norma,” ujar Geeta Seshu dari Free Speech Collective.
Shiv Visvanathan, ilmuwan sosial kenamaan India, menyebut masa darurat sebagai fondasi India pascamodern. “Dulu dan sekarang, pemimpin kuat menghapus kontrol institusional seolah tak ada artinya. Kita tidak pernah benar-benar keluar dari keadaan darurat – hanya berganti wujud,” katanya.
‘Tujuh Generasi!’
Setelah delapan hari ditahan dan disterilkan, Deenu pulang ke rumah. Sebulan kemudian, istrinya Saleema melahirkan anak tunggal mereka – seorang putra. Kini, ia punya cucu dan cicit. Tahun ini, Saleema wafat setelah sakit lama.
Deenu duduk di halaman rumahnya, menyesap soda dari gelas plastik, dikelilingi tawa anak-anak kecil. “Tujuh generasi!” katanya dengan bangga. “Tak banyak orang bisa bilang seperti itu. Tapi harga yang kami bayar sangat besar.”***
KlikWartaku.Com Gak Cuma Cepat Tapi Tepat
Homepage